Skip to content Skip to sidebar Skip to footer

Fiksi : Antara Pabrik dan Pekerjaan Rumah

Antara pekerjaan rumah dan pabrik
Sebagai seorang buruh pabrik, Rusmi selalu berangkat tepat waktu agar tidak kena sanksi berupa pemotongan gaji. Dilakukannya setiap hari dari Senin hingga Jumat. Bertahun-tahun sudah dia menjalankan kehidupan sebagai pencari rezeki yang seharusnya dilakukan sang suami. Namun, kepala rumah tangga itu terkena stroke dan hanya terbaring di kasur. Meski gaji tak seberapa, namun dia tetap bertahan demi menghidupi rumah tangga dan merawat suami serta membiayai anak semata wayangnya yang bernama Ratih; yang kini duduk di bangku IX SMP.

Sebelum berangkat kerja, sebagai seorang istri, Rusmi mengurus segala kebutuhan suaminya terlebih dulu. Memasak, membersihkan rumah dan lainnya. Dengan rasa lelah dan capek tak pernah dia hiraukan, tetap bersabar dan menganggap semua ini adalah ibadah. Siapa tahu amalan yang selama ini dia perbuat bisa berguna di dunia yang kekal kelak.

Karena sering kelelahan sebelum berangkat kerja, Rusmi kerap mengantuk dan kurang maksimal dalam membuat bulumata palsu. Tak jarang dia mendapatkan teguran keras dari atasannya, bahkan sampai diancam gaji tak dibayarkan jika kerjanya masih bermalas-malasan. Sepulang kerja, yang seharusnya untuk istirahat, dia sering membawa pekerjaan menjadi sebuah lemburan. Hitung-hitung sebagai pendapatan tambahan untuk beli buku anaknya.

Pada saat gajian datang, dia langsung membagi-baginya, termasuk membayar hutang ke warung tetangga yang sering menjadi andalan. Bahkan membayar utang juga ke temannya yang sesama menjadi buruh pabrik. Uang tak seberapa itu pun harus dipecah-pecah sedemikian rupa agar rumah tangganya tetap berjalan. Ingin sekali dia merasakan gajinya itu untuk membelanjakan baju atau makanan yang seperti orang-orang lain pamerkan. Tapi ah, boro-boro begitu, boro-boro bisa menikmati lezatnya daging, di rumah ada tahu atau tempe pun sudah sangat bersyukur.

Entah sampai kapan penderitaan itu akan berakhir, entah sampai kapan suaminya akan sembuh, tiga tahun sudah dia menjadi kembang kasur yang merepotkan.

Kadang, Rusmi berdoa, kalau memang mau sembuh, segeralah sembuhkan, kalau memang ini untuk penghapusan dosa-dosanya; yang mungkin dulu sewaktu muda pernah melakukan hal tercela, dia memohon agar rasa sakit itu segera hilang selamanya. Karena dia sudah lelah dengan semua ini. Mengurus rumah, bekerja dan memikirkan jalan keluarnya. Hingga suatu hari Rusmi benar-benar depresi sampai-sampai ia tak mau lagi mengurus rumah. Dia membiarkan saja semua keperluan suami dan anaknya.

Pagi yang masih petang itu dia langsung beranjak ke pabrik. Sarapan dan pekerjaan lainnya masih utuh tak tersentuh. Terpaksanya Ratih mengerjakan seorang diri dan membuatnya terlambat sekolah.

Ratih, kenapa jam segini baru masuk? Kamu tahu kan jam berapa masuk kelas?” tanya seorang guru ketika mendapati Ratih telat masuk sekolah.
Iya, Pak, maaf, saya terlambat,” jawabnya penuh penyesalan.
Ya sudah, sana segera masuk kelas. Dan ingat, jangan diulangi lagi,” tegurnya.

Ratih hanya mengangguk, melaju ke kelasnya. Dalam ruangan, tak biasanya juga dia pendiam dan kurang memperhatikan apa yang guru ajarkan. Ratih juga saat ini tampak kelelahan dan mengantuk. Teman-teman yang lain berbisik-bisik membicarakannya. Penampilannya juga yang masih acak-acakan, tak serapi biasanya.

Sedangkan Rusmi di pabrik terus mendapatkan tekanan, terlebih saat ini, Pak Bowo – sang Manager membuat peraturan yang sangat ketat. Hasil harus memenuhi target, tidak boleh mengobrol dan apalagi makan di dalam ruang kerja. Itu memang benar, setiap karyawan memang dilarang makan pada saat bekerja. Namun yang membuat tercengang adalah ketika hasil kerja kurang memuaskan, hasil kerja itu tidak dibayarkan. Rugi! Sungguh rugi! Sudah capek menganyam rambut sehelai demi helai menajdi bulumata palsu, ketika jadi malah tak ada hasil.

Ketika jam istirahat, Rusmi menyantap makan siang seadanya yang dia beli di warung sebelah. Hanya membeli nasi putih seharga Rp 2.000 dan satu buah mendoan seharga Rp 1.000. Tak pernah terpikirkan apa itu nilai gizi dalam makanan dan apa itu vitamin. Namun itu tetap bersyukur, dan harus bersyukur sudah ada sesuatu yang dimakan. Bahkan, ada seorang teman yang baik, yang selalu berbagi makanan dengannya. Bahkan menjadi teman curhatnya Rusmi.

Aku lelah, Jar,” ujar Rusmi di sela-sela makan siang.
Yo istirahatlah, biar kamu gak sakit. Jangan dipaksakan nanti badanmu yang rusak,” balas Jariyah, sahabatnya.
Bukan masalah itu,”
Lalu apa masalahnya, Rus?” Jariyah penasaran dan ingin sekali tahu.
Aku lelah dengan semua ini. Suamiku tak kunjung sembuh, gaji bulananku tak seberapa, rasanya baru saja kemarin gajian, sekarang sudah ludes. Aku bingung bagaimana membayar biaya sekolah Ratih. Aku ingin pergi saja dari dunia. Jenuh dengan keadaan begini,”
Istighfar, Rus, itu cobaan. Pasti ada jalan keluarnya. Kalau kamu menyerah begitu saja, bagaimana dengan nasib anak semata wayangmu itu? Bukankah kamu mencintainya?”

Rusmi hanya menggangguk. Terlihat jelas dalam wajahnya membundung air mata yang ingin membuncah. Ia pun segera menyelesaikan makan siang dan segera menghadap Sang Khalik untuk mengadukan seluruh nasibnya yang begitu buruk baginya.


Bimbang

***

Malam hari Ratih merasa lapar, ditengoknya ke dapur namun tak ada bahan makanan yang bisa ia makan. Sedangkan ibunya masih bekerja karena ada lembur. Sesekali Ratih menengok bapaknya yang terbaring, yang kadang-kadang cuma minta minum. Disuapi makanan pun seringnya menolak. Nelangsa sekali melihat laki-laki itu yang dulu gagah berani dan penuh tenaga, tapi saat ini terbaring lemah bahkan wajahnya pun tak tampak seperti dulu. Sudah berubah, berbicara pun susah.

Terdengar sayup-sayup suara bapak memanggil Ratih. Dia menanyakan istrinya, kenapa belum pulang.

Ibu masih lembur, Pak,” jawab Ratih pelan.
Ratih mendekat ke bapak, mana tahu laki-laki itu perlu sesuatu. Tak ada ucapan apa-apa, hanya air mata yang terus bergulir berjatuhan. Ratih tak kuasa membendung air matanya. Ruah sudah membanjiri pipinya. Batinnya terasa tersiksa dan tersayat, bagaiamana semua ini terjadi. Rasanya memang tak sanggup setiap hari memandang begini. Namun ini sudah suratan takdir.
Bapak mau makan sesuatu? Nanti Ratih belikan di warung, uang jajan Ratih masih ada,”
Bapak hanya menggeleng dan menunjuk ke Ratih, yang bermaksud “Uang itu untukmu saja, atau beli sesuatu untukmu saja,”

Tak berapa lama kemudian Rusmi pulang ke rumah. Wajah lesu, pucat dan letih terpancar jelas di raut mukanya. Ingin sekali langsung melahap makanan, tapi apa daya, jangankan makanan sesuap nasi pun tak ada.

Ibu, kenapa jam segini baru pulang?” tanya Ratih yang sebenarnya dia ingin protes kenapa tidak ada makanan apapun.
Iya, lembur, banyak kerjaan,” balasnya singkat.
Iya, Bu, tapi aku lapar, Bapak juga seharian belum makan,”
Apa kalian pikir aku tidak merasa lapar? Aku begini, berangkat pagi pulang malam, kalau bukan untuk kalian untuk siapa lagi? Lagi begini saja kita masih kurang, belum lagi membayar biaya sekolahmu. Kalau bukan Ibu siapa lagi? Bapakmu saat ini sudah seperti mayat hidup!” Emosi Rusmi tak terbendung lagi hingga dia kehilangan kontrol untuk berbicara dengan anaknya sendiri.
Ibu.....” Ratih pun masuk ke kamar dan menangis. Mengapa sikap ibunya akhir-akhir ini menjadi kasar dan seolah-olah tak peduli lagi pada keluarganya. Yang dia pikirkan hanya cari uang, kerja dan kerja lagi.

Dan, ketika pagi menjelang, Rusmi sudah bersiap-siap berangkat kerja. Seluruh keperluan rumah Ratih yang melakukannya. Awalanya sehari dua hari saja begitu, tetapi kali ini setiap hari. Tak jarang Ratih terlambat sekolah terlebih ketika ia mengurus bapak dahulu sebelum bearngkat. Padahal sebentar lagi Ujian Akhir Nasional untuk tingkat SMP. Seharusnya Ratih sering rajin belajar tapi malah sering telat dan tidak bersemangat lagi.


Lebih parahnya lagi, Ratih belum membayar uang SPP sampai tiga bulan. Biasanya tidak begini. Biasanya Rusmi rutin memberi uang bulanan untuk anaknya. Ratih pun mencari tahu sebab musahababnya, apa ibunya tak cinta lagi, atau memang tak cukup. Dengan sangat hati-hati dia mencari tahu, ternyata biaya obat bapak menambah. Keadaannya kian kritis, uang yang setiap bulan Rusmi terima kini hanya untuk menebus obat. Padahal dia sudah mati-matian dengan tambahan lembur, tetap saja tak tertutup.

Kini Ratih mulai menyadarinya, mengapa ibunya begitu giat mencari uang tanpa mengenal lelah. Pun juga semangat itu membuat dirinya berpikir bagaimana cara membantu orang tuanya.

Bu, kalau Ratih keluar saja untuk bantu ibu cari uang, gimana?”
Rusmi belum menjawab, dia nampak asyik menikmati makan malam dengan singkong rebus dan tempe goreng.
Boleh ya, Bu,” rengek Ratih.
Dengan keras Rusmi menyingkirkan tempat makan terbuat dari plastik dan berkata, “Tidak!”
Kenapa, Bu? Kan biar Ibu gak terlalu capek untuk mencari uang, Ratih bisa kok, Bu,” rengeknya.
Sekali tidak ya tidak, kamu ngerti, kan? Belajar yang rajin, gak perlu memikirkan bagaimana Ibu mencari uang,”

***

Capek
Hari yang panas dan menjengkelkan. Hasil yang sudah ditumpuk tinggal disetor ke koordinator ternyata tersenggol teman seberang meja. Mau marah-marah hanya membuat suasana semakin panas. Mau berkomentar nanti jadi ribut. Nasib menjadi kuli pabrik. Hanya bisa menangis batin kalau segala sesuatunya melenceng dari harapan. Belum lagi kalau menerima bullyan dari teman-temannya.

Eh Rusmi, kamu masih sanggup ngurus laki-laki yang kerjanya ‘tidur’?” ledeknya.
Kalau aku si mending tinggalin aja tu orang, emangnya hanya dia apa laki-laki di dunia ini? Kamu itu bisa berkembang dan cantik, Rusmi, kalau enggak ngurusin orang sakit gitu. Dah tinggalin aja dia,” imbuh teman yang lainnya.

Rusmi hanya tertunduk. Memang benar apa yang mereka katakan, harusnya dari dulu dia pergi meninggalkan pria itu. Pasti bisa lah mencari pasangan hidup lagi. Lamunannya terhenyak, membayangkan betapa hidupnya tak akan sia-sia begini kalau dulu langsung meninggalkannya. Pasti tidak akan sengsara begini, tidak akan terburu-buru dan bisa mengurus diri. Bisa membuat bahagia anak semata wayangnya. Dalamnya hatinya berceletuk, “Iya, benar, harusnya aku dari dulu pergi,”

Tiba-tiba lamunan itu buyar ketika Pak Bowo sedang berkeliling dan mendapati Rusmi sedang bengong. Betapa tidak ada belas kasihan lagi. Saat itu pula mendapat caci maki dengan keras. Amarah Pak Bowo tak sampai di situ, dia memanggilnya ke kantor. Dalam hati Rusmi sudah ketakutan kalau-kalau dipecat. Beruntung saja, hanya mendapat ocehan yang tidak kunjung selesai dan selembar kertas kuning yang berisikan surat peringatan. Surat yang lebih kejam dari diputus cinta anak muda sekarang. Siapa saja yang mendapat surat tersebut, tentunya akan mendapat konsekuensi, selama tiga bulan akan benar-benar diawasi gerak-gerik dalam bekerja. Harus tepat waktu, tidak boleh melamun, hasil harus memenuhi target dan lainnya.

Rusmi terhenyak, tak bisa berkata apa-apa lagi. Semakin kalut rasanya. Di rumah yang semakin memprihatinkan, di tempat kerja kini diawasi terus, bak robot yang harus terus bekerja. Hari-harinya kini semakin berat, berharap ada secercah harapan untuk menyemangati hidupnya. Di tempat kerja dia ingin segera pulang, biar bagaimanapun yang terbaring lemah itu suaminya. Dan ada seorang gadis yang sedang cantik-cantiknya menunggu di rumah.

Menguntai waktu di pabrik itu sungguh menguras tenaga. Dari pagi hingga malam, sampai rumah selalu dalam keadaan letih. Namun kali ini tak seperti biasanya. Rumah yang selalu sepi kini terdengar ramai dan banyak suara. Rusmi segera bergegas masuk, dia takut hal buruk terjadi, “Semoga bukan itu, ya, Tuhan,” ucap batinnya.


Ternyata tetangga, beberapa orang guru SMP dari sekolah Ratih yang datang. Mereka bermaksud untuk membantu biaya pengobatan Risno-suami Rusmi. Bahkan yang lebih membuat bahagia, Ratih mendapat beasiswa dan tidak perlu membayar SPP yang nunggak.

Dengan semangat gotong royong, para warga itu membantu mengantar Risno ke rumah sakit. Bahkan pemerintah setempat berjanji akan memberi pengobatan gratis hingga Risno sembuh. Tak tertahankan air mata Rusmi, mengalir deras menangis penuh haru. Doanya selama ini terkabul, ada penyelamatan bagi suaminya.

Kehidupan Rusmi kini mulai membaik, tak melulu soal bulumata yang terus dia targetkan. Esok hari dia selalu berangkat dari rumah sakit setelah mengurus suaminya. Sedangkan Ratih, dia diberi modal dari sekolahnya untuk menjual makanan yang terbuat dari singkong. Tak perlu repot juga dia jajakan ke warung-warung, tapi dia titipkan di kantin sekolah. Berharap hasil itu bisa membeli buku dan baju seragam untuk esok ketika melanjutkan ke SMA.


***TAMAT***
Eri Udiyawati
Eri Udiyawati Hallo, saya Eri Udiyawati. Seorang Perempuan yang suka menulis dan traveling. Blogger asal Purbalingga, Jawa Tengah. Suka menulis berbagai topik atau bahkan mereview produk. Email : eri.udiyawati@gmail.com | Instagram: @eryudya | Twitter: @EryUdya

13 comments for "Fiksi : Antara Pabrik dan Pekerjaan Rumah"

  1. Selalu ada jalan selagi tidak putus asa. Bagus ceritanya mbak. Sayangnya udah tamat. Harusnya ada lanjutannya nih sampai Ratih selesai UN :p

    Eh ada salah tulis nama sedikit tuh mbak. Di atas gambar cewek lagi duduk melipat siku. Disitu tertulis "Ratih", harusnya "Rusmi" kan? Hehe :D

    ReplyDelete
    Replies
    1. Aha, besok kalau ada ide, aku tulis lagi deh cerita kelanjutannya, hehehe.
      Hmm, iya tu.. makasih ya atas koreksinya..

      Delete
    2. Oke ditunggu ya mbak hehe :D
      Terima kasih kembali mbak Eri

      Delete
  2. Ibu yg akhirnya jd tulang punggung y mb aku merasakan banget apa yg Rusmi alami cape pstinya fisik dan batin ah untung endingnya hepi klo ga pgn peluk Rusmi heheeh bagus ceritanya mba

    ReplyDelete
  3. Wahhh aku terharu banget bacanya dari awal sampe akhir. Jadi dulu keinget masa-masa lalu, wah gilakkk nostalgia banget. Semoga buat bapa dan mama sehat-sehat selalu, dan semoga bisa hadir disaat anakmu ini sukses atau bersanding dengan orang lain untuk memulai kehidupan baru bersama keluarga baru.. Amin. amin amin.

    ReplyDelete
  4. Salut banget sama Rusmi. Dia nggak menyerah meski suami sakit begitu. Pun kondisi keuangan yang memprihatinkan. Lihatlah. Nggak ada sesuatu yang sia-sia. Apalagi doa. Suatu saat akan terjawab. Apa yang kita peroleh adalah hal yang terbaik dari doa kita. Meski kadang kala bukan itu yang kita inginkan.

    ReplyDelete
  5. Kadang ya, Tuhan hanya menguji sampai batas. Nggak tahunya ada saja rejeki dari tempat lainnya.

    Duh lingkungan pabriknya sungguh bikin menyiksa batin saja.

    ReplyDelete
  6. Huhu sedih bacanya. Tapi alhamdulillah ada titik terang di akhir cerita. Bagus Mbak Ery ceritanya. Penuh pesan membangun. Apakah dengan ini, Mbak Ery berniat merambah jadi penulis buku?

    ReplyDelete
  7. Dan kisah fiksi Ratih begini ada juga dalam kehidupan nyata ya mba sedih sih tapi selalu ada jalan bagi yang tidak berputus asa...

    ReplyDelete
  8. Somehow cerita ini relate banget sama saya, walaupun kondisinya nggak separah itu, mostly in my head. Ga berhenti-berhentinya feeling insecure karena tekanan di tempat kerja dan tuntutan di rumah.

    ReplyDelete
  9. Kisah tentang perempuan yang seharusnya jadi tulang rusuk tapi malah jadi tulang punggung seperti ini selalu mengharu biru. Kenyataannya ini memang banyak terjadi di tengah-tengah kita
    Bersyukur kisah Rusmi dan Ratih happy ending. Sementara di luar sana justru banyak yang berakhir mengenaskan hiks

    ReplyDelete
  10. Alhamdulillah happy ending, ada kebahagiaan setelah penderitaan yang bertubi-tubi.
    Semangat sekolah juga ya tuk Ratih. :)

    ReplyDelete