Skip to content Skip to sidebar Skip to footer

Sakit Hati Membawa Hidayah

SAKIT HATI MEMBAWA HIDAYAH - Cerpen bernuansa islami, yang terinspirasi pada saat Ramadhan tahun 1436 H, kemarin.
Selamat membaca :)

Oleh : Ery Udya

Bulan Ramadhan adalah bulan yang selalu ditunggu-tunggu oleh umat islam di seluruh dunia. Karena di dalam bulan ini bulan yang penuh berkah, rahmat, ampunan, dan segala pahala yang berlimpah dari Allah. Allah akan memberikan semua kebaikan kepada umatnya yang bertakwa dengan baik dan benar serta menjalankan syariat islam.



Untuk menghormati datangnya bulan Ramadhan, sebagian besar warung makan tutup di waktu siang hari. Mereka akan membuka warung makan di saat menjelang berbuka puasa. Karena di saat menjelang waktu buka puasa, warung makan tersebut ramai pengunjung untuk membeli takjil atau menu utama, apa lagi untuk daerah dimana berdiri univeristas-universitas yang sebagian warganya adalah mahasiswa yang datang dari berbagai kota.

Duh, lapar banget aku, makan apa aku ini? Semua warung tutup, makan mie instan lagi kah siang ini?” gerutu Cantika di dalam kamar kost. Dia sedang merasa sangat lelah setelah pulang kuliah, dia mencari warung makan tetapi tutup semua. Cantika merupakan anak kost karena tempat ia menimba ilmu jauh dari rumahnya. Dia juga bukan seorang muslim, sehingga dia tidak puasa.
Karena memang sudah sangat lapar, Cantika mengambil mie instan dan menuju ke dapur yang ada di rumah kost itu. Dia akan memaksa mie instan untuk makan siangnya. Saat dia menyalakan kompornya, dari belakang ada yang menyapa.

Cantika, kamu lapar?” tanya teman kostnya.
Iya, tapi aku bingung nih, tidak ada yang jualan siang ini,” jawab Cantika.
Jangan makan mie instan terus, tidak baik untuk kesehatan kamu,” ucap temen Cantika yang berjilbab dengan berwajah anggun itu.
Terus aku makan apa? Aku tidak bisa masak juga, hanya masak air dan mie instan lah yang bisa aku masak,” ungkap Cantika dengan rasa kecewa.

Sudah-sudah, matikan kompornya, mari ke kamarku, aku ada beberapa roti tawar dan selai, kamu boleh makan itu, Cantika.” Ajak temannya.
Serius nih, Annisa?” tanya Cantika seakan-akan ia tidak percaya bahwa Annisa akan memberinya makan. Mereka berdua akhirnya menuju kamar kost Annisa. Cantika terlihat begitu kelaparan, dengan sekejap dia sudah memakan tujuh potong roti tawar. Dengan mulut yang masih penuh terisi roti, Cantika bekata, “Annisa, terima kasih, ya, kamu sudah menolongku. Tapi ngomong-ngomong, kamu puasa kan?”
Iya, aku puasa.” Jawabnya singkat.
Terus kamu tidak ingin makan melihatku makan disini? Terus kamu nanti buka puasa sama apa, roti tawar kamu sudah aku habiskan? Biasanya kalian membuat es campur dengan roti tawar, terus susu untuk pertama kalian makan, mmm... apa itu namanya?” tanya Cantika.
Takjil maksud kamu, Cantika?” tanya Annisa untuk menegaskan pertanyaan Cantika.
Iya itu apa lah namanya, aku tak tahu, Annisa.”

Setelah Annisa cukup kenyang, dia kembali ke kamarnya. Sedangkan Annisa mempersiapkan diri untuk pergi ke pesantren yang dekat dengan kampusnya itu. Setiap hari, menjelang waktu shalat ashar, Annisa pergi ke pesantren untuk mengaji dan menyiapkan buka bersama dengan anak yatim dan duafa.
Ketika Annisa sedang menyalakan motor maticnya, Cantika berteriak menyapanya dari jendela kamar.

Annisa, tunggu..!” teriaknya. Annisa pun mematikan kembali mesin motornya, ia menoleh ke jendela kamar Cantika.
Ya, Cantika, ada apa?” tanyanya. Cantika tersenyum, kemudia lari menghampirinya.
Annisa, maaf, kamu mau ke pesantren ya?” tanya Cantika.
Iya, ada apa, Cantika? Apa kamu ada perlu sesuatu dengan aku? Atau kamu mau nitip sesuatu nanti setelah aku pulang dari pesantren?” Annisa ingin tahu apa maksud Cantika, karena tidak biasanya dia mencegahnya ketika mau pergi ke pesantren.
Hmmm.. begini, Annisa.. Kalau besok atau lusa atau kapan hari aku ikut dengan kamu ke pesantren, boleh tidak? Tapi aku tidak memakai kerudung seperti kalian, apakah aku diizinkan masuk?” ujar Cantika mengungkapkan apa yang ada di hatinya.
Tentu saja boleh, yang penting kamu berpakaian rapi dan sopan.” Annisa tersenyum dan menepuk pundak Cantika.
Terima kasih ya, Annisa, kamu hati-hati di jalan.” ucapnya.
Iya, aku permisi dulu ya.”

Setelah sampai di pesantren, Annisa menceritakan kepada pendiri pesantren, bahwa ada temannya yang akan ikut ke pesantren, tapi sebagai tamu, karena temannya itu bukan seorang muslim. Dari pihak pesantren tidak keberatan, bahkan senang ketika ada orang non muslim mengunjunginya, karena hal itu juga untuk mempererat kerukunan antar umat beragama di negara ini.

Baca juga: Jack yang Malang

***

Hari telah berganti, Annisa sebenarnya ingin menanyakan apakah Cantika serius ingin bertamu ke pesantren atau tidak. Tapi beberapa hari ini Cantika jarang terlihat di kamar kost. Akhir-akhir ini Cantika sering pulang malam, padahal hal itu tidak biasa ia lakukan. Biasanya, ketika Cantika ada masalah dia juga hanya mengurung diri di kamar dan menghabiskan waktu di depan laptopnya untuk chating atau berjelajah di dunia maya.

Waktu sudah malam, Annisa sedang melantunkan ayat-ayat suci Al – Qur’an. Terdengar lirih dari telinga Annisa ada motor yang berhenti di depan kost. Annisa berdiri dekat jendela untuk mengintip siapa malam-malam begini datang ke kost.


Cantika? Jam segini baru pulang? Dari mana dia? Bukannya jadwal kuliahnya paling telat sampai jam lima sore?” Annisa bertanya pada dirinya sendiri. Kemduian ia terus memperhatikan Cantika. Wajahnya pucat, langkahnya sudah tidak pasti, ia terhuyung-huyung seperti orang yang sedang mabok. “Ada apa dengan Cantika? Kenapa ia jadi seperti ini?” Annisa ingin lebih tahu apa yang terjadi dengan teman kostnya itu. Tak berapa lama kemudian, terdengar ketukan pintu kamar Annisa. Ia segera membukakan pintunya.
Astaghfirullohal’adziim..! Cantika, kamu kenapa?” Annisa panik ketika melihat Cantika sudah di depan kamarnya dengan kondisi yang sangat buruk. Kemudian Annisa memapahnya ke kasur. Cantika menangis tersedu-sedu dengan menempelkan wajahnya ke kasur.

Cantika, ada apa? Kenapa kamu seperti ini? Apa yang terjadi ceritakanlah.” Annisa mendekatinya dan menyentuh pundak Cantika. Kemudian Cantika bangun dan berganti memeluk Annisa, dan kian menangis. “Aku harus bagaimana? Berhari-hari aku menunggunya, behari-hari aku mencarinya, tetapi saat aku temukan dia, dia sedang bersama wanita lain. Apa salahku? Selama ini aku tidak pernah mengkhianati dia, aku selalu jujur pada dia, tapi kenapa dia membohongiku?”

Tangisan Cantika kian menjadi, bahwasannya ia sedang patah hati, karena kekasihnya telah memiliki wanita lain.
Sudah-sudah Cantika, tenangin diri kamu, jangan rusak diri kamu sampai seperti ini. Laki-laki itu tidak pantas untuk kamu tangisi. Jangan menangisi karena cintamu yang belum tentu menjadi jodohmu, menangislah karena dosa, itu akan lebih baik bagi dirimu.” Annisa mencoba menenangkan Cantika, agar dia tidak terus-terusan menangis.


Esok hari, Cantika masih begitu kusut dan berantakan, ia pun tidak mau masuk kuliah. Ia tetap tinggal di kamar Annisa. Setelah Annisa pulang dari kuliah, dan berangkat ke pesantren, Cantika pun ikut. Ia merasa jenuh dan bosan di kost sendirian dan terus teringat apa yang telah dilakukan kekasihnya itu. Dari pihak pesantren menerima dengan tangan terbuka hadirnya Cantika, mereka menganggap Cantika adalah tamu.
Tiga hari telah berlalu, Cantika memperhatikan semua kegiatan santri-santri yang ada di pesantren tersebut. Mendengarkan lantunan ayat-ayat suci yang begitu mendamaikan hatinya. Melihat kebersamaan tanpa memandang bulu, anak siapa, orang mana, kaya, miskin, dari kalangan pejabat atau bukan, mereka semua berbaur, dan Cantika tertegun melihatnya.

Cantika..” ucap Annisa dan menghampiri Cantika yang sedang duduk di beranda pesantren.
Eh, Annisa..” ucapnya.
Cantika, kamu beberapa hari ini tidak makan, makan lah, nanti kamu bisa sakit kalau kamu terus-terusan begini.” Annisa menasehatinya. Cantika hanya menggelengkan kepalanya, ia tidak ada selera makan. Annisa tersenyum kemudian ia lanjut berkata, “Jangan menyiksa dirimu seperti ini. Tuhanmu tidak akan pernah setuju kalau ada umatnya yang menyiksa dirinya sendiri, apa lagi untuk hal yang tidak berguna.”
Tapi kalian juga tidak makan, bukankah itu menyiksa diri kalian?” Cantika membalasnya.
Tidak, kami tidak menyiksa diri, kami berpuasa itu merupakan perintah Tuhan kami. Dimana kami yang berpuasa dan menjalankan segala kebajikan, maka kami akan mendapatkan berkah yang melimpah. Dan ketika kami tidak menjalankan perintah Allah maka kami akan berdosa. Dan tentu saja kami tidak menyiksa diri, karena sebelum terbit fajar kami makan dan minum, yang disebut dengan sahur, dan ketika matahari sudah tergelincir ke peraduan, kami diperbolehkan makan dan minum kembali, dan itu lah yang disebut dengan waktu berbuka puasa. Selama kami berpuasa, kami menahan dari segala nafsu yang bisa membatalkan puasa. Dan hal ini bukanlah hal yang menyiksa diri.” Terang Annisa ke Cantika yang membuat Cantika bergetar.

Annisa, bolehkan aku menjadi Islam? Bagaimana caranya? Bisakah aku seperti kalian? Kamu bisa bantu aku, Annisa?”
Siapa saja boleh menjadi islam, Cantika. Dengan satu catatan bahwa itu adalah niat tulus dari hati bukan dari paksaan atau intimidasi dari hal apa pun.” Balas Annisa.
Aku tidak terpaksa, aku sungguh-sungguh ingin masuk islam. Aku sudah memperhatikan kalian semua disini. Sungguh damai dan tentram.” Jawab Cantika meyakinkan Annisa.
Baiklah, kalau begitu mari kita coba diskusikan dengan pak kiai yang mengelola pesantren ini. Beliau pasti bisa membantumu, jika kamu ingin benar-benar masuk islam.”
Mereka berdua segera menuju masjid pesantren untuk menemui pak Kiai. Annisa menceritakan apa niat hati Cantika, pak Kiai senang mendengarnya. Namun, beliau terlebih dahulu menanyakan hal itu secara sungguh-sungguh ke Cantika. Pak Kiai juga tidak mau kalau Cantika masuk islam karena terpaksa, karena itu tidak baik, karena sesungguhnya islam tidaklah pernah memaksa.
Cantika, jujur saja bapak sangat senang mendengarnya kamu mau menjadi mualaf. Tapi, bapak ingin tahu, apakah kamu ikhlas untuk menjalankan semua kewajiban menjadi seoarang islam? Dan apakah nanti keluargamu tidak menentangnya?” tanya pak Kiai kepada Cantika.
Saya sudah siap dan ikhlas, Pak. Dan jika nanti kedua orang tua saya menentangnya, saya akan coba untuk menjelaskan kepada mereka dengan baik, karena memang ini bukan sebuah paksaan,” jawab Cantika.
Baiklah ...” jawab Pak Kiai yang kemudian menuntun Cantika untuk membaca dua kalimat syahadat yang mana merupakan bukti awal bahwa dia masuk islam.


Dan akhirnya, bulan Ramadhan ini membawa Cantika menjadi seorang mualaf. Berawal dari dikhianati seorang kekasih menjadikan diri Cantika untuk menjadi lebih baik. Kini dia tak akan mengungkit kekasih yang telah menyakitinya itu. Dia merelakannya pergi, karena dia yakin bahwa Allah telah memberikan hidayah kepada dirinya, dan dia juga yakin bahwa kekasihnya itu bukanlah yang terbaik. Orang seperti dia harus diikhlaskan untuk pergi, agar hati lebih tenang dan tidak merasakan sakit.

Dalam sujudnya yang pertama, Cantika berdoa, “Ya Allah yang Maha Pengampun, terimalah taubatku ini. Aku yang hina ini memohon ampunan kepada Engkau yang Maha Penyayang. Puji syukur aku panjatkan kepada-Mu Ya Allah, Engkau telah membuka mata hatiku, Engkau telah menunjukkan jalan yang benar kepadaku. Terimalah sujud pertamaku ini, Ya Allah, dan jagalah hamba-Mu ini agar tetap menjadi Islam dan selalu bersyukur kepada Engkau.” Tetes air mata haru jatuh membasahi pipi Cantika, kemudian dia bangkit dari sujudnya.

--TAMAT--

Eri Udiyawati
Eri Udiyawati Hallo, saya Eri Udiyawati. Seorang Perempuan yang suka menulis dan traveling. Blogger asal Purbalingga, Jawa Tengah. Suka menulis berbagai topik atau bahkan mereview produk. Email : eri.udiyawati@gmail.com | Instagram: @eryudya | Twitter: @EryUdya

Post a Comment for "Sakit Hati Membawa Hidayah"