Skip to content Skip to sidebar Skip to footer

Menulis Demi Menyembuhkan Jiwa yang Rapuh

Menulis demi menyembuhkan jiwa yang rapuh

"Hai, Ry, masih menulis?" tanya salah seorang teman ke saya.

"Iya, masih," jawab saya singkat.

"Kenapa masih menulis, Ry? Apakah menyenangkan?" tanyanya lagi.

Saya menghela napas dan kemudian tersenyum. Mendapat pertanyaan seperti itu, tentu saja banyak jawabannya. Kadang suka kadang duka. Karena menulis bagi saya sendiri merupakan hal yang bisa mengubah segalanya.

Dari menulis membuat semua unek-unek terlampiaskan. Dengan menulis membuat hati dan jiwa tenang. Seperti melepaskan semua beban yang ada. Menulis buat saya adalah terapi jiwa.



Jiwa yang Gersang Butuh Asupan Bukan Hanya Siraman Rohani


Jiwa yang gersang butuh healing

Masa yang pahit dan berliku pernah saya lalui. Saat kepercayaan diri dan kepercayaan kepada siapa pun pudar, seakan dunia ini runtuh. Seolah-olah tak ada orang lagi dalam kehidupan ini. Benak sering bertengkar sendiri dengan hati.

Nurani pun sering teriris menerima kenyataan yang tak sejalan. Rasa kesal sering menghampiri, membuat sesak dada dan tak bisa bernapas dengan baik. Bahkan berkali-kali kesehatan menurun. Asam lambung naik dengan pesat yang membuat saya tak bisa bangkit.

Gemetar tubuh menopang diri. Berujung pada klinik kesehatan terus, lagi, dan lagi. Belum lama sakit, bisa sakit lagi. Dalam sebulan bisa dua kali. Sungguh miris pada masa itu.

Belum lagi emosi yang masih bergejolak. Tersulut percikan api perdebatan langsung marah. Kadang saya pun tak mengenali diri sendiri. Kata-kata orang-orang saya tidak pandai bersyukur, dan kurang siraman rohani.

Mungkin benar seperti itu. Saya mengiyakan saja semua kata orang. Sampai-sampai menyendiri adalah teman terbaik. Mulai merangkai bait-bait puisi yang terkadang cukup menusuk hati.

Dengan kesendirian saya berani berjalan di tengah keramaian tanpa teman. Banyak orang berlalu-lalang tapi tak mengenal. Sesekali hanya senyum formal ketika langsung berpapasan dengan orang. Dari kesendirian di tengah keramaian itu, tak jarang saya menuliskannya menjadi sajak yang saling bertaut.

Ternyata merangkai untaian kata itu membuat candu. Benar-benar mengalihkan dunia saya. Lebih mencintai buku dan pena. Ya, kala itu masih menulis di buku. Belum memiliki laptop atau handphone yang bagus.

Zaman dulu buat makan saja rasanya susah, UMK masih di angka 500 ribuan. Aah, jangan harap membeli semua peralatan menulis yang canggih.

Cukup buku dan pulpen saja pada saat itu. Sampai buku penuh, kemudian bertumpuk dan usang. Ujung-ujungnya mulai sobek dan hilang. Terus begitu sampai tak terurus lagi.

Hingga saya berpikir mengapa enggak menulis di catatan online saja? Mulailah membuat blog gratisan sampai 4 (hahaha, jiwa serakah belum hilang). Yang akhirnya dari 4 blog itu tinggal 2 yang aktif, hihihi.

Pada akhirnya saya menyadari, terapi jiwa yang gersang ini cukup dengan menulis. Sungguh di luar ekspektasi saya kala itu. Remaja labil yang suka uring-uring mulai menata jiwa dan hatinya dengan menulis.

Manfaat Menulis untuk Kesehatan


Menulis untuk kesehatan

Memang, menulis ini banyak sekali manfaatnya untuk kesehatan jiwa, mental, dan kepercayaan diri. Berikut manfaat dari menulis yang bisa saya rasakan:

1. Membuat Jiwa Lebih Tenang


Sebelum mengenal menulis catatan atau diary, saya adalah orang yang uring-uringan. Saya akui, saya orang yang susah dalam mengendalikan emosi. Suka marah-marah sendiri dan enggak jelas penyebabnya apa.

Sebenarnya juga tak ingin marah, tapi entah kenapa luapan emosi itu begitu besar dan sukar dikendalikan. Sangat beruntung ketika bisa menulis walau tulisan acak dan kadang suka sedih sendiri bacanya.

2. Menurunkan Risiko Depresi


Menjadi orang yang dominan otak kiri tuh bikin apa-apa dipikir. Ketika mendapat masalah memikirkan banyak cara solusi dan prediksi-prediksi yang akan terjadi. Padahal, apa yang akan terjadi juga belum tahu seperti apa.

Sukanya berpikir negatif mendalam, seperti persiapan ketika hal terburuk terjadi. Hal seperti itu adalah siksaan. Ya, siksaan. Ketika hendak tidur tidak bisa, jadilah insomnia. Tidur pun tak nyenyak karena banyak pikiran.


Lama dibiarkan saya jadi sakit kepala. Pikiran terlalu berat berujung gerd lagi, begitu terus berulang-ulang. Karena menulis tentang perasaan, curhat dan mengeluarkan seluruh beban pikiran, tidur bisa jadi nyenyak, depresi pun menjauh.

3. Perlahan Memudarkan Trauma


Masa kecil yang tidak bahagia dan banyak bullyan, membuat saya minder bertemu dengan banyak orang. Pengecapan/label anak tertentu terngiang-ngiang hingga puluhan tahun. Mau melupakan tapi tidak bisa, ketika bertemu dengan orang itu lagi, masa kecil dan perlakuan dia terhadap saya muncul.


Mau menyapa rasanya malas, padahal enggak dendam. Cuma sebel saja kalau lihat orang itu.

Menulis secara rutin menjadi jalan yang aman dan mudah untuk mengatasi trauma. Hati dan pikiran jadi terasa lega. Ingatan buruk pada masa lalu lama-lama pudar dan menjadi biasa, kemudian bisa bedamai dengan diri sendiri.

4. Siap Menghadapi Masalah


Manusia hidup sudah pasti banyak menghadapi masalah dan segala ujian yang ada di dalamnya. Dengan menulis, saya dapat memahami diri saya seperti apa. Turut serta merenung dan intropeksi diri apa yang sudah saya lakukan dan perbuat. Dengan begitu, ketika ada cobaan datang tak serta merta menjadi orang yang tersakiti sekali. Seolah-olah hanya diri ini yang mendapat cobaan.

Kan memang dunia ini penuh kejutan, cobaan, ujian, dan lainnya.

5. Memaafkan Diri Sendiri


Pertanyaan-pertanyaan seperti tidak menerima kenyataan sering terjadi di pikiran dan hati.

"Mengapa aku begini?"

"Mengapa aku gagal?"

"Ini salah siapa kok aku yang kena getahnya?"

"Udah capek-capek gini kok gak ada hasilnya? Harus apa lagi?"

"Kenapa cuma aku yang mengalami cobaan ini?"

Dan pertanyaan lainnya yang semakin membuat diri kian negatif. Semakin banyak memaki dan mencerca pertanyaan seperti itu ke diri sendiri, sungguh sangat bahaya.

Jiwa akan rapuh, menyesali semua kejadian, menyalahkan diri sendiri, dan tentu saja tidak akan semangat dalam menjalani hidup.

Kalau dibiarkan lama-lama bisa jadi 'zombie', hidup enggan mati tak mau. Ngeriiii!

Karena menulis, membuat jiwa tidak gersang lagi, hidup bisa semakin semangat bahkan kian kreatif. Tentu saja, bisa menerima diri sendiri serta memaafkannya. Menyadari semua yang sudah terjadi memang sudah takdir.

Baik dan buruknya masa lalu tak bisa diubah, terpenting untuk saat ini dan ke depannya terus berusaha menjadi baik, itu adalah anugerah.

Penutup


Membahas menulis dari segi kesehatan jiwa dan mental tentu membawa saya bernostalgia puluhan tahun silam. Mengingat-ingat masa kelam yang memprihatinkan dan mengenaskan.

Namun, dengan begitu menjadi ingat kapan mulai menulis meski hanya coretan tangan yang tak jelas. Bahkan sering menyebutkan sebagai coretan tanpa judul.

Berawal dari itu puluhan puisi tercipta, mendelegasikan hati agar tenang dan tetap baik-baik saja. Serta menormalkan kepala agar tetap waras menghadapi kehidupan.

Karena kita punya rencana, Tuhan punya takdir yang lebih indah.

Hah, begitulah, rasanya saya kembali menjadi melow mengingat tulisan-tulisan lama. Teringat akan janji yang teringkari, pada  masa itu, masa di mana saya kehilangan.

Seolah merasa abadi dalam kalbu, padahal kenyataannya semua itu hanyalah antara rindu dan sendu yang tak bisa bertaut. Hingga membuatnya sakit namun tak berarah.

Begitulah semua tentang menulis yang menjadi terapi jiwa. Layaknya tanah tandus yang mendapatkan siraman hujan. Bagaikan oase di tengah gurun. Sungguh menyejukkan hati.

Banner Challenge KEB


Eri Udiyawati
Eri Udiyawati Hallo, saya Eri Udiyawati. Seorang Perempuan yang suka menulis dan traveling. Blogger asal Purbalingga, Jawa Tengah. Suka menulis berbagai topik atau bahkan mereview produk. Email : eri.udiyawati@gmail.com | Instagram: @eryudya | Twitter: @EryUdya

7 comments for "Menulis Demi Menyembuhkan Jiwa yang Rapuh"

  1. Saya setuju kalo menulis itu terapi jiwa. Bahkan bisa menjadi misi menumbuhkan kepercayaan diri juga, jaman dulu karya di muat di media bikin bangga. Senang ya bisa menjadikan blog sebagai tempat curhat spesial yang nggak gaje tentunya

    ReplyDelete
  2. Iyaa kak Ery. Paling enak nulis curhatan di blog. Tau2 udah 600 kata wkwkw. Nulis emang jadi salah satu sarana healing dan menyembuhkan depresi juga ya.

    ReplyDelete
  3. Menulis memang terapi yang murah meriah ya mbak Ery. Teman-teman sesama gemar menulis bikin dunia perbloggeran selalu hidup ditengah maraknya pemakaian fast blog macam tweter dan trets.
    Yok kita kudu semangattt menjalani hidup ini mbak Ery ^^. Siapa tau didepan ada rintangan yang lebih menantang menunggu kita.

    ReplyDelete
  4. Rindu dengan tulisan curhat yang membuat candu yaa, ka Ery.
    Aku pun kalau sedih masih suka nulis diary.
    Kadang malu mau curhat di sosmed, karena biasanya suka menutupi masalah dan jadinya gak all out atau cenderung membela diri.

    Aku tau, setiap manusia butuh self love, tapi kalau menghadapi sebuah masalah, aku lebih sering introspeksi, "Kenapa masalah ini bisa datang ke aku?"

    Menulis memang se-candu itu sih..
    Dan ternyata, dari situlah kesehatan mentalku terjaga.
    MashaAllaa~

    ReplyDelete
  5. menulis memang memiliki banyak manfaat ya mbak salah satunya bisa membantu menyembuhkan luka yah setidaknya dengan menulis kita bisa menumpahkan segala perasaan kita tersebut dan hati sedikit lebih ringan

    ReplyDelete
  6. Benar banget, menulis bisa dikatakan sebagai terapi. Dengan menulis, saya bisa bertemu orang2 hebat khususnya dunja blog. Dari menulis saya menjadi tenang, apalagi kalau ketemu teman yang sefrekuensi.

    ReplyDelete
  7. Emang bener nulis ini bisa menyembuhkan sih ya Mbak. Aku sendiri juga merasakan lebih lapang dan tenang sih setelah menuliskan uneg-uneg atau apapun keluh kesah selama ini. Hihiii. Semangat mbaj

    ReplyDelete