Pada hakikatnya cinta itu memiliki rasa dan kebebasan tersendiri. Tidak bisa dipaksa, tidak bisa dihindari pun juga tidak bisa disalahkan. Iya, nalarnya cinta memang seperti itu, tapi bagaimana ketika harus jatuh cinta pada orang yang salah? Bertahun-tahun lamanya mencintai seseorang yang tak pernah mengabaiakan perasaannya sedikitpun. Apakah itu pembuktian hati yang tulus atau kebodohan karena tidak pernah menyadari orang yang selama ini dicintainya itu tidak pernah merasakan rasa yang sama. Bisa dikatakan
cinta bertepuk sebelah tangan seperti lagu yang melegenda itu. Tapi ini bukan lagu, ini tentang sebuah kisah asmara yang dialami oleh Derawati, gadis berparas cantik yang masih berusia dua puluh dua tahun. Masih kuliah di jenjang akhir atau bisa dikatakan sedang menggarap skripsinya. Namun, dia jatuh cinta pada seorang pria yang bernama Vino, teman kuliah yang tak pernah sekalipun mereka bertemu. Bagaimana kisahnya? Simak terus di bawah ini, ya.
Derawati yang biasa dipanggil Dera gadis mojang priangan Bandung yang memiliki mata bulat dan jelas, pipi mulus dan sedikit mirip bakpao. Sudah hampir
empat tahun dia menginjakan kakinya di Jakarta untuk menimba ilmu di salah satu universitas Ibu Kota. Untuk urusan materi kuliah dia tidak pernah ambil pusing, maklum, anak dari pasangan Bapak Hendri Deryudi dan Ibu Sulis Setyowati ini selalu berhasil mendapatkan hasil yang maksimal. Urusan dana juga tidak begitu dipikirkan. Selain orang tuanya yang memang cukup berada, meskipun tidak kaya, tapi mampu membiayai anak ketiganya kuliah di Jakarta. Sedangkan Dera sendiri kalau senggang dia mengambil part time untuk bekerja di café atau malah narik ojok online biar bisa bayar kost-kostan sendiri karena biaya kost tiap tahun makin nanjak harganya.
Suatu hari dia berbincang-bincang dengan teman sekostnya, Ria, tentang rencananya setelah lulus kuliah nanti. Ya, mereka bercakap-cakap di kamar kost sambil goleran membaca buku atau kadang nyambi bermain media sosial.
“Ri, kamu abis lulus mau ngapain?” tanya Dera.
“Balik kampung ke Jawa, pengen memberikan ilmu yang bermanfaat di kampung,” jawab Ria yang penuh bijak.
“Wow, keren banget cita-cita lo, mulia juga ya,” ledek Dera. Ria hanya tersenyum kecil dan asyik manggut-manggut sambil memainkan ponsel pintarnya.
“Eh, Ri, lo pernah kepikiran enggak mau nikah di usia berapa dan sama siapa?” tanya Dera lagi. Ria lagi-lagi hanya menjawab dengan bahasa tubuhya sampai-sampai membuat Dera rada kesel.
“Eh, lo kenapa sih? Main HP mulu, gue lagi ngajak ngobrol tahu!” celetuk Dera.
“Lah, lo aja kagak jelas, bentar-bentar pegang HP, bentar-bentar buku, bentar-bentar nyerocos kayak petasan di tempat orang mantenan,” Ria mulai ikutan ngegas.
Jadi satu kamar berdua mereka ramai banget seperti orang satu RT lagi pada demo karena biaya kost mahal.
“Ya, setidaknya lo dengerin gue dulu, dong, Ri!”
“Ya deh, mau cerita apa?” tanya Ria.
“Menurut lo, kalau gue ngungkapin perasaan ke Vino, gimana? Enggak ada salahnya, kan?” tanya Dera yang membuat wajah Ria senewen.
“Vino lagi, Vino lagi. Apa kagak ada cowok lain di dunia ini selain dia? Empat tahun gue kenal lo, masalah dalam hidup lo cuma satu deh, Vino!” Ria makin ngegas karena dari dulu yang dibahas Dera hanya Vino.
“Ya mau gimana lagi, Ri, gue cinta ama dia, dan bentar lagi kita lulus, masa aku enggak pernah mengungkapkan perasaan ke dia sedikitpun. Udah gue tahan selama empat tahun ini,” jelasnya.
“Serah lo dah!” ketus Ria.
“Ih, lo kok gitu sih, kayak enggak suka gitu,”
“Bukan gue enggak suka lo ngungkapin perasaan lo ke Vino, tapi apa lo tahu, gimana perasaan dia ke lo? Lo udah lihat sendiri kan gimana bejatnya dia? Udah berapa cewek di kampus ini yang dia pacarin? Harusnya lo bersyukur kalau lo enggak disukai sama Vino,”
“Lo gitu deh, awas aja ya lo kalau lo jatuh cinta dan perasaan lo berkobar-kobar,” sumpah Dera untuk Ria.
Ria hanya tertawa dan melempar buku ke Dera. Akhirnya mereka pun berdebat panjang hanya karena Vino. Namun kali ini Dera berhasil membuat Ria mengalah. Ria menyetujui bahwa dengan sangat terpaksa, Ria mendukung kalau Dera akan mengungkapkan perasaannya setelah ujian skripsinya selesai.
“Gue pikir lo mahasiswi yang cerdas, tapi ternyata urusan cinta lo jadi norak dan bodoh,” timpal Ria untuk Dera.
“Biariiiin..! Dari pada lo kagak pernah mikirin hati, hanya kepikiran gimana jadinya biar bisa jadi orang yang hebat di desa. Mulia banget sih tujuan hidup lo,”
“Dari pada lo, cinta mulu yang dipikirin, makan tu cinta,”
Ya, begitulah mereka, berdebat yang unfaedah sampai lelah dan tertidur sendiri.
***
Dan hari yang ditunggu-tunggu pun tiba, mereka lulus dengan hasil yang memuaskan. Dera tampak bahagia karena mendapatkan peringkat tiga. Orang tuanya pun bangga pada putrinya itu. Kebahagiaan lain pun dirasakan Ria, dia berhasil meraih gelar sarjana dan dia berencana akan pulang kampung untuk mengembangkan ilmunya di desa.
Di sela-sela kebahagian mahasiswa dan orang tua yang hadir di acara wisuda tersebut, Dera mengendap-endap meninggalkan orang tuanya yang sedang berbincang-bincang dengan beberapa kenalan yang sama-sama menghadiri anaknya wisuda. Ria mengetahui tingkah laku Dera, ia pun mengikutinya dan berhasil meraihnya.
“Woi, ngapain lo ngendap-ngendap kayak maling di keramaian?” suara Ria membuat Dera kaget dan berhenti berjalan yang sudah di depan Ria berjarak sepuluh meter.
“Ha, lo lagi, lo lagi, ngapain lo ngikutin gue,” balas Dera.
“Gue takut aja, kalau lo mau maling, terus bikin heboh deh,”
“Enak aja,”
“Terus lo ngapain jalan kayak orang lagi mau nangkap apa,” desak Ria.
Pertanyaan Ria hanya membuat Dera tersenyum.
“Jangan bilang lo mau nyari Vino,” tebak Ria. Dera hanya mengangguk. Membuktikan bahwa kalimat sahabatnya itu benar adanya. Dan sekali lagi Ria mengingatkan bahwa sebelum mengungkapkan keputusan itu harus dipikirkan matang-matang, secara, selama ini Vino merupakan salah satu playboy kampus yang sering bergonta-ganti pacar. Apa jadinya nanti kalau Dera ditolak? Bukankah membuat patah hati? Tapi dalam pikiran Ria, ditolak Vino jauh lebih mending ketimbang nanti sahabatnya itu diterima oleh Vino dan hanya dimainkan perasaannya.
Baca juga: Cinta yang Terbalaskan Lelucon
Ketika mereka berdebat, sesosok pria tampan dengan badan tinggi seratus delapan puluh satu centimeter itu muncul. Mata yang bulat, rahang yang tinggi, dan dagu yang goleng, memang membuat kalangan hawa klepek-klepek melihatnya. Dera dan Ria sama-sama melongo, karena orang yang dibicarakannya tiba-tiba hadir di depan mereka.
“Kalian tadi nyebut nama saya?” tanya Vino, yang membuat mata Dera tak berkedip. Dengan high hells Ria menginjak kaki Dera dan membuatnya kesakitan.
“Hmm iya… aku tadi nyebut nama kamu,” jawab Dera dengan gugup.
“Ada apa?” Vino bertanya lagi.
“Eee… jadi gini, akuu… akuu… mau…” Dera tidak bisa mengatakan yang sebenarnya, ternyata gugup benar rasanya berhadapan dengan orang yang disukainya.
“Mau kenalan sama Vino,” celetuk Ria yang membuat Dera berbingar-bingar.
“Iya, maksudnya mau kenalan sama Vino, karena selama kita kuliah di sini, kita enggak pernah menyapa satu sama lain. Nah, ini pas banget lagi acara wisuda, kita mau kenalan, siapa tahu nanti di luar kampus kita bisa ketemu lagi. Entah itu masalah pekerjaan, bisnis atau lainnya,” kata Dera ada benarnya juga. Tapi tak mudah dia melakukan semua itu, karena napasnya serasa habis.
“Oh ya, okay, aku Vino,”
“Dera,”
“Ria,”
Mereka saling berjabat tangan sebagai tanda untuk berkenalan. Kemudian Vino mengatakan sesuatu yang membuat Dera berbunga-bunga, “Dera? Derawati yang memperoleh peringkat tiga di kampus ini? Wow, selamat ya, senang kenalan denganmu,”
Dera hanya bisa mengangguk dan ingin tertawa bahagia. Ingin sekali rasanya berlarian di taman mengungkapkan kegembiraannya, ternyata orang yang dicintainya selama ini juga menaurh perhatian juga.
“Sayang….” Lamunan Dera langsung lebur ketika mendengar suara gadis yang mengatakan ‘sayang’. Di arah belakang Vino, datanglah seorang gadis cantik yang berambut ikal panjang sepunggung. Mata yang menggunakan softlens biru itu menjadikan penampilannya kian seksi.
“Hai, honey, ada apa?” jawab Vino.
“Aku dah bilang papi, kalau acara pertunangan kita sebaiknya dipercepat,” jelas kata gadis itu. Yang sambil menarik Vino dari hadapan Dera dan Ria. Sayup-sayup terdengar mereka berdua mengobrol tentang pesta pertunangan. Dera seperti disambar petir di siang bolong, tiada angin tiada hujan. Rasa bahagia yang baru saja ia impikan, tenggelam sudah. Musnah. Tak terasa buliran air mata menetes di pipi. Ria tahu betul apa yang dirasakan Dera saat ini, dia pun mencoba membantu menenangkan perasaan Dera.
“Ini lebih baik, Der, lo tahu dari awal, jadi lo enggak perlu mengharapkan dia lagi,” ucap Ria. Dera hanya mengangguk. “Ya, lo harus bersyukur karena lo tahu bahwa hubungan Vino dengan cewek itu serius, jadi lo mesti move on, karena cowok di dunia ini bukan cuma dia,” tambah Ria.
“Empat tahun gue memendam semua ini, mengumpulkan seluruh kekuatan cuma buat ngedeketin dia, tapi nyatanya sia-sia,” Dera Nampak putus asa.
“Eh, girl! Udahlah, enggak perlu disesali. Lo harusnya hari ini lagi bahagia banget, orang tua lo datang di sini, lo jadi juara tiga. Prestasi lo bagus, harusnya lo bahagia. Setidaknya buat orang tua lo deh,” lagi-lagi ucapan Ria benar juga.
Dera mencoba membersihkan mukanya yang sudah lusuh. Dia mencoba menyolek wajahnya lagi. Dan mereka pun berjalan beriringan menuju orang tua mereka yang sudah bahagia karena anaknya sudah lulus. Dera juga sangat bersyukur memiliki teman seperti Ria yang selalu cerewet untuk menasehatinya selama ini.
Dan mereka harus bersiap-siap untuk kehidupan selanjutnya. Apakah Dera akan pulang ke Bandung, atau berkarir? Atau malah langsung menemukan pengganti Vino? Lalu bagaimana dengan dengan Ria? Apakah benar nanti dia akan mengembangkan ilmunya di desa, atau malah dia betah di kota dengan pesona yang memikat? Tunggu kisah selanjutnya.
Bersambung…
--
Sumber foto: www.pexels.com