Mencoba Kembali Hiking dengan Menyapa Gunung Kelir
Gunung Kelir, sebuah destinasi hiking yang sempurna untuk menguji kekuatan dan menikmati keindahan alam bersama teman-teman. Ini seperti menguji mental dan fisikku yang sekian lama menjadi orang mageran. Terakhir mendaki mungkin tahun 2016 ke Puncak Sendaren di Desa Panusupan.
Pas banget hari Sabtu, 26 Juli 25 teman-teman seperjuangan dalam mencari duit mengajak hiking ke Gunung Kelir. Kesempatan ini takku sia-siakan, dong. Langsung gas.
Wacana Melihat Sunrise yang Hanya Wacana
Beberapa hari sebelum berangkat sempat terpikir gimana kalau kita melihat sunrise dari Gunung Kelir? Ah, nyatanya itu hanya sebuah wacana, aslinya kami adalah orang-orang yang ... (ya begitulah) tidak perlu diperjelas. Jam 7 pagi aku berangkat, bertemu dengan Vety, Septi, dan Bibeh di Selaganggeng, Mrebet, yang kemudian lanjut ke Serang, terus melaju ke Kutabawa.
FYI ya, Guys, ya. Gunung Kelir yang kami kunjungi ini terletak Jalan Raya, Pejagan 1, Kutabawa, Karangreja, Purbalingga, Jawa Tengah. Puncak yang tidak terlalu tinggi hanya 1373 MDPL, menjadikan primadona bagi pemula hiking. Jeng, jeng, seperti Bibeh dan Nisa kali ya, oopss!
Kalau kita melakukan pencarian 'Gunung Kelir' di Google, akan banyak tempat dengan nama yang sama. Karena di daerah Jawa Barat juga ada destinasi wisata Gunung Kelir.
Kalau Tidak Telat dari Jadwal Bukan Emak-emak Namanya
Okay, kami sudah sampai di Basecamp Gunung Kelir, tinggal Nisa aja nih yang belum muncul-muncul. Maklumlah, emak-emak itu emang seperti itu, kadang aku juga begitu. Akhirnya jam 9 kurang dikit Nisa sampai, dan kami lanjut mendaki. Eh, sebelum itu ke loket dulu buat bayar tiket ya. Ingat, kalau ke sini harus via jalur resmi dan bayar tiket-nya ya. Btw, terima kasih Bu Dhani yang sudah mentraktir kami semua.
Harapanku pas jalan semoga tidak terlalu panas, karena niat awal mulai mendaki jam 8 jadi jam 9. Okay, aku ra popo.
Mulai Tracking, Aman, kan?
Hahaha, pertanyaan macam apa ini? Okay, awal tracking masih aman semua. Jalan setapak masih landai. Mata dimanjakan dengan dengan pemandangan perkebunan milik orang setempat. Ada yang nanam tembakau, buncis, sawi, bawang daun, wortel dan lainnya. Ya, salah satu keunikan di area perkebunan milik warga itu banyak macam-macam tanaman. Kalau mau tinggal beli saja langsung ke yang punya kebun.
Setelah melewati perkebunan mulailah jalan yang cukup menanjak. Aku sendiri cukup ngos-ngosan juga nih. Melirik ke Bibeh dan Nisa, oh tidak, kayaknya perlu dorongan yang makin kuat nih. Hihihi.
![]() |
Bibeehh.. kenapa kamu? 😂 |
Melanjutkan perjalanan hingga ke puncak gemilang cahaya Gunung Kelir. Eh, ternyata di atas ada beberapa penjual makanan. Entah kenapa saya tertarik untuk beli cilok. Mungkin perut saya yang sudah tidak terima lagi karena sepanjang jalan hanya diisi air minum saja. Sampai di puncak, istirahat, duduk dan menikmati semilir angin membuai dengan mesra lembut.
Duduk bersantai sambil menikmati bekal, aku makan roti dikasih Septi. Duduk di ketinggian begini adalah harta indah yang sudah lama menghilang dari hidupku. Kembali menyelami jeram petualangan bagai mengobarkan kembali jiwa muda yang hampir padam. Langkah ini adalah pelukan rindu untuk alam raya, menyapa setiap helaan napasnya, dan menatap hamparan rimbun pepohonan yang memesona.
Aku bahagia, karena aku bisa mendengarkan lagi semilir angin yang berbisik, lalu mata pun dimanjakan dengan hamparan hijau yang menari-nari diterpa matahari, dan mendengar alam menyanyikan lagu yang paling sunyi. Oh, seperti itulah kehidupan yang damai tanpa ada rasa dikejar-kejar setiap hari. Tanpa ada rasa harus bagaimana menghadapi kenyaatan yang terkadang pahit dan memilukan.
Ingin kuberteriak pada alam ini, "Haii.. aku kembali lagi, apakah kau merindukanku wahai daun, ranting pohon, dan angin? Apa kabar kalian?"
Mie Instan Selalu Jadi Juara untuk Keadaan Darurat
Di puncak gak makan mie instan? Kayaknya kurang gimana, kan? Aku bawa mie instan 10 bungkus yang ternyata hanya dimasak beberapa saja. Okay, kami masak (eh, aku gak termasuk bagian ini, aku bagian makan saja). Dengan peralatan seadanya mie instan matang dan siap dilahap.
Ternyata ada hal yang kulupakan yaitu bawa alat makan, jadinya, memanfaatkan ranting pohon untuk kujadikan sumpit. Tenang, aman, kok.
Sampahmu = Wajahmu
Pernah mendengar pepatah ini? Sampahmu adalah wajahmu. Ya, setiap kali mendaki atau jalan ke mana saja, jangan sampai membuang sampah sembarang bahkan sampai meninggalkan sampah di tempat tersebut. Termasuk hiking ke Gunung Kelir, please jangan meninggalkan sampah apa pun. Sampah harus dibawa turun dan dibuang ke tong sampah yang sudah tersedia.
Alam yang bagus jangan pernah dikotori dengan sampah yang merusak lingkungan. Pesanku, jika kau tidak bisa membawa sampahmu, tak usah kau mendaki atau berbetualangan. Jangan kotori tempat yang kau singgahi, oke?
Penutup
Well, cukup panjang juga ya. Telah lama aku gak nulis sesantai ini. Cerita yang mengalir begitu saja. Biasanya aku harus berpikir memutar otak untuk menulis sampai berjam-jam dan yang akhirnya tiada satu kata yang tertuang. Menceritakan perjalanan memang bagian paling mudah untuk dituliskan. Sampai jumpa di lain waktu, semoga bisa kembali berpetualang di tempat lain. Semangat ya.
Post a Comment for "Mencoba Kembali Hiking dengan Menyapa Gunung Kelir"
Terima kasih telah membaca postingan pada blog saya. Silakan tinggalkan komentar, dimohon jangan menggunakan link hidup.
Terima kasih.
:) :)