Demi Cinta
Sebuah cerpen yang terinpirasi dari lagu 'My Heart by Aca Septriasa'
DEMI
CINTA
Oleh
: Eri Udiyawati
Raisa,
perempuan yang baru berumur sembilan belas tahun. Dia sudah bekerja
di salah satu warung makan di pesisir pantai selatan. Setiap hari dia
berkutat dengan cumi-cumi, ikan laut, gurita, lobster, dan makanan
laut lainnya. Selain rajin, dia juga sudah pandai memasak. Tak heran
jika warung yang dia tempati untuk bekerja tidak pernah sepi.
Dia
bekerja dari jam sepuluh pagi hingga sepuluh malam. Hari-harinya dia
habiskan untuk bekerja meski seharusnya dia bisa menikmati masa-masa
remaja. Karena tuntutan ekonomilah, dia harus bekerja. Ayah dan
ibunya sudah bercerai sejak dia masih kecil, kini Raisa hanya tinggal
dengan ibunya.
Waktu
sudah menunjukkan pukul sembilan malam. Desiran ombak di laut
terdengar jelas di telinga. Penikmati kuliner satu per satu mulai
pergi untuk meninggalkan warung. Hanya tinggal beberapa orang saja
yang masih menikmati kudapan lezat yang bersumber dari laut.
Baca juga: Antara Pabrik dan Pekerjaan Rumah
Terlihat
sesosok pria yang sedang duduk-duduk di halaman warung.
“Andi,
sedang apa kamu di sini?” tanya Raisa.
“Tentu
saja sedang menunggmu, memangnya ada yang aku lakukan selain
menunggumu?” goda Andi ke Raisa. Raisa hanya tersenyum, dia senang
karena kekasihnya sudah datang. Mereka berdua sudah berteman sejak
SD. Dari mulai bangku sekolah mereka saling mengenal, hingga saat
ini. Meski Raisa tidak bisa melanjutkan kuliah seperti Andi, tetapi
Andi selalu meluangkan waktu untuk Raisa saat dia tidak sibuk.
Andi
menunggu Raisa hingga waktu Raisa selesai bekerja di warung itu.
Kemudian mereka menikmati udara malam sebentar di tepi pantai. Mereka
sangat sering menikmati suasana seperti ini. Dari dulu, sejak pertama
kali Andi hadir di kehidupan Raisa. Mereka tak pernah terpisahkan,
mereka sudah terbiasa bersama.
“Oh
ya, besok kamu bisa libur kerja kan?” tanya Andi.
“Libur?
Memang ada apa?”
“Aku
mau besok kamu ikut denganku. Besok dari kampusku akan mengadakan
touring ke pantai ini. Kamu ikut ya, temani aku.” Pinta Andi.
“Dengan
teman-teman kuliahmu?” Raisa sedikit cemberut.
“Hei,
kenapa kamu cemberut seperti itu?”
“Aku
malu kalau dengan teman-teman kuliah kamu.”
“Kan
ada aku, lagian kamu cuek saja, kenapa harus malu sama mereka.”
Ucap Andi sambil mengelus kepala Raisa, yang sebenarnya mengacak-acak
rambut Raisa.
***
Sinar
mentari telah memancarkan cahaya keemesan dari ufuk timur.
Pancarannya begitu menyilaukan dan terbias di tengah lautan. Terlihat
dua insan sedang mengukir nama mereka di atas pasir. Meski mereka
tahu ombak akan menghapusnya, tetapi mereka tetap menuliskan nama
mereka berulang-ulang di atas pasir.
Setelah
tiga puluh menit menunggu, teman-teman Andi dari kampus datang juga.
Mereka terlambat karena mereka sempat tersesat, sehingga mereka tidak
bisa menikmati sinaran mentari di pagi hari. Mereka berjumlah dua
puluh dua orang, terdiri dari empat belas perempuan dan delapan
laki-laki. Mereka semua adalah teman-teman dekat Andi di kampus.
Baca juga: Aku Mencintaimu
Seharian
penuh mereka menghabiskan hari di pantai. Andi dan teman-temannya
merasa bahagia. Mereka semua tampak ceria, tetapi tidak bagi Raisa.
Dari raut wajah Rasia jelas terlihat kemuraman dan kejengkelan. Dia
merasa kesal ketika ada seorang perempuan yang terus berusaha mencoba
mendekati Andi. Perempuan itu tidak membiarkan Andi untuk mendekati
Raisa. Rasa cemburu dalam hati Raisa tak bisa ditahan lagi. Dia tak
sanggup jika harus melihat Andi dekat perempuan lain. Raisa memilih
berdiam diri di samping batu karang tepian pantai. Dia hanya melihat
Andi dan teman-temannya dari kejauhan.
Raisa
hanya terdiam hingga mereka semua pergi. Kini kembali antara Andi dan
Raisa di tepi pantai. Andi masih ingin menikmati indahnya senja
menutup hari yang cerah.
“Raisa,
sini!” teriak Andi meminta Raisa untuk mendekatinya.
“Hei,
kamu kenapa, Raisa?” tanya Andi saat melihat wajah Raisa yang
ditekuk seperti seseorang yang telah kalah dalam pertandingan. Raisa
hanya geleng kepala.
“Jangan
bohong, katakan padaku, apa yang terjadi denganmu? Tak biasanya kamu
seperti ini, Raisa. Aku sangat mengenalmu.” Ucap Andi seraya
menarik tangan Raisa dan menatap matanya penuh perhatian.
“Bagaimana
liburannya? Menyenangkan, bukan?”
“Ada
apa, Raisa? Jangan berbelit-belit seperti ini, katakan terus terang,
kamu tahu aku paling tidak suka sesuatu hal yang berbelit-belit.”
Andi mendesak Raisa untuk jujur.
“Siapa
perempuan tadi? Sepertinya kalian sangat dekat. Teman sekelasmu
juga?”
“Perempuan?
Maksudmu Rita?”
“Entah
siapa namanya, aku tidak tahu.”
“Raisa,
kamu cemburu dengan dia?” tanya Andi.
Raisa masih tanpa suara, itu
menandakan membenarkan pertanyaan Andi ke dirinya. Andi memegang
kedua pundak Raisa, “Raisa, aku mengerti perasaanmu, sangat
mengerti. Tapi, tetaplah percaya padaku, bahwa sedikitpun tidak ada
niat dari diriku ini untuk berpaling darimu. Kita telah melewati
begitu banyak waktu. Setiap detik yang kulewati denganmu itu sangat
berharga untuk hatiku dan untuk kehidupanku.
Bagaimana bisa aku
menggantikannya begitu saja? Bagaimana bisa aku menghapus semua hal
yang telah kita lalui bersama sejak dulu. Di sini, di tempat ini,
kita sudah terbiasa bersama, kita menjalani hari-hari penuh cinta dan
kasih sayang. Alam ini telah menjadi saksi bagaimana besarnya cinta
kita berdua. Kita selalu menguntai hari-hari menjadi indah, kita
selalu mengukir nama kita berdua di pasir ini, meski ribuan kali
ombak menyapunya, tetapi seribu kali kita tetap mengukirnya. Itu
berarti ribuan cobaan untuk menghapus nama kita, kita akan tetap
mengukirnya kembali. Percayalah padaku, aku sangat mencintaimu, Raisa
....”
Raisa
terperanjat mendengar ungkapan dari Andi, dia merasa bersalah telah
menuduh yang tidak-tidak.
“Andi,
maafkan aku,”
Andi
mengangguk dan memeluknya, mencoba menenangkan hati Raisa yang sedang
kalut. Kemudian dia berkata, “Ayo kita pulang, sudah malam.”
Mereka
perlahan meninggalkan bibir pantai, berjalan bergandengan tangan,
merasakan semua getaran cinta yang sedang membara. Saat mereka sedang
berjalan, tiba-tiba saja Raisa jatuh tersungkur.
“Raisa,”
Andi kaget, tidak biasanya Raisa seperti ini. Andi menepuk-nepuk
lirih di pipinya, tetapi Raisa tidak sadarkan diri.
“Raisa!
Raisa!” berkali-kali Andi mencoba menyadarkan Raisa namun tak
kunjung siuman. Disaksikan rembulan dan bintang yang bertabur di
langit, Andi menggendong Raisa. Andi segera membawa ke klinik
terdekat. Dokter di klinik menyarankan Raisa untuk segera di bawa ke
rumah sakit agar segera terdeteksi sakit apa dan mendapatkan
perawatan yang intensif.
Andi
cemas menunggu Raisa yang sedang diperiksa oleh dokter. Apa yang
terjadi dengan Raisa? Hal ini tidak pernah terjadi, setahu Andi,
Raisa anak yang kuat, dia capek bekerja di warung makan dan mengurus
rumah, tetapi tidak pernah terjadi seperti ini.
“Dokter,
bagaimana kondisi Raisa saat ini?” tanya Andi saat melihat dokter
Indra keluar dari ruang IGD.
Dokter
itu belum menjelaskan apa yang menyebabkan Raisa pingsan. Mereka
berdua menuju ke ruangan dokter Indra. Di ruangan itu dokter Indra
menjelaskan semuanya tentang penyakit yang selama ini disembunyikan
oleh Raisa..
***
Entah
kenapa Raisa tiba-tiba merasa sangat perih di perutnya, seperti sudah
tersayat-sayat. Dia pikir ini mimpi, dia merasa sedang bermimpi
bermain dengan pisau atau benda tajam lainnya. Dia sekuat tenaga
memaksa untuk membuka matanya yang menginginkan dia untuk tetap
tertidur. Raisa dengan sangat keras melawan pemaksa tidur itu. Dia
berhasil membuka mata, melihat sekelilingnya, dan melihat dirinya
sendiri. Dia menyadari dia tidak sedang mimpi, rasa sakit
sayatan-sayatan itu memang ada bekasnya di perut, tapi ini bukan
sayatan, ini bekas operasi yang telah dilakukan ke Raisa beberapa
jam yang lalu.
“Sudah
sadar, Mbak?” tanya suster yang masuk ke ruang rawat Raisa.
“Iya,
Sus. Oh ya, Suster, apa yang terjadi dengan saya?” tanya Rasia,
dan Suster itu pun menjelaskan apa yang terjadi.
“Siapa
yang telah memberikan nyawa baru untuk saya?” tanya Raisa ingin
tahu dan hendak mengucapkan terima kasih pada orang itu.
“Kalau
itu saya tidak tahu, Mbak. Itu dirahasiakan oleh dokter Indra.”
Jawabnya.
“Tapi,
tolong saya, antarkan saya ke orang tersebut.” Raisa memaksa.
Suster itu bersikukuh untuk tidak mengantarkan Raisa ke penolongnya,
tetapi Raisa tetap memaksa. Raisa pun berhasil merayu suster itu.
Raisa di antar ke ruang rawat orang yang telah menolongnya. Raisa pun
bertemu dengan orang itu, ranjang mereka dibuat berjejer.
Baca juga: Cinta yang Tak Sempurna Part 2
Air
mata Raisa mengalir deras seperti hujan.
“Andi
....” Raisa tak sanggup lagi berkata. Apa yang harus diucapkan
kepada Andi? Rasa terima kasih saja tidak cukup untuk diberikan
kepada seseorang yang telah memberikan nyawanya. Andi mulai siuman
dari pengaruh bius, dia menyadari ada orang di ranjang sebelah
kanannya.
“Kenapa
kamu lakukan ini, Andi? Apa yang akan terjadi denganmu di kemudian
hari?”
“Aku
akan baik-baik saja, percayalah padaku.” Jawab Andi.
“Kini
kamu hidup dengan satu ginjal, Andi, bagaimana kamu bisa katakan akan
baik-baik saja?”
“Tidak,
Raisa. Aku hidup tetap dengan dua ginjal, hanya saja ginjal kananku
di tempat lain, tapi itu bukan berarti tidak menjadi milikku lagi.
Demi cinta kita, aku rela akan melakukan apa saja, agar kita tetap
bersama. Kamu tahu, kita sudah sehati, satu jiwa. Jika aku tidak
memberikan ginjal kananku untukmu, dan membiarkanmu kehilangan hidup,
apa kamu pikir aku akan bertahan hidup? Tidak, Raisa, aku tidak akan
bisa bertahan hidup tanpamu, kamu tahu itu. Kamu tahu setiap yang
terjadi di antara kita, kita akan saling merasakannya. Cinta ini
begitu kuat sampai-sampai aku tidak bisa untuk kehilangan dirimu.
Kita hidup bersama, dan mati pun kita bersama, hanya saja saat ini
aku belum siap untuk pergi dari dunia ini, Raisa. Aku sangat
mencintaimu.”
Suasana
pun memecah menjadi haru biru. Air mata itu tak bisa dibendung lagi.
Tuhan mengembalikan kehidupan Raisa dengan ginjal Andi. Raisa
berjanji akan menjaganya sebaik mungkin, karena ini adalah ginjal
mereka yang harus dilindungi.
Baca juga: Ingin Menjadi Dokter
Pengorbanan
yang besar bagi seorang Andi demi menjaga keutuhan cinta mereka. Dia
tidak pernah memikirkan kehidupannya sendiri, tetapi dia begitu
peduli terhadap orang yang dicintainya. Begitulah cinta, saling
peduli dan saling mengasihi serta bisa mengorbankan kehidupan hanya
demi orang yang dicintai. Cinta itu murni tanpa paksaan, alirannya
begitu kuat hingga masuk ke jantung dan aliran darah di setiap diri
insan yang memiliki rasa kasih sayang dan saling memiliki. Maka,
janganlah sia-siakan cinta meski hanya sebutir debu, karena jika kita
menyia-nyiakan cinta, yang akan terjadi adalah bencana bagi dua
insan.
*****TAMAT*****
Ah..sebuah cerita romantis yang manis.. Terima kasih sudah berbagi cerita ini, mba Ery..
ReplyDeleteCeritanya penuh haru mbak Ery... Pemilihan katanya bagus dan beragam. Tapi buat saya yang bertipe serius ini, nampaknya lebih bagus cerita pendek fiksi plus dagelan artikel kemarin yang dibikin mbak Ery xD. Lebih masuk akal dan lebih menghibur ^^
ReplyDeleteDuuh.. ini anak kuliahan tapi kenapa udah kena penyakit ginjal? Tapi bagus Mbak Ery buat ceritanya, udah bagus buat "show don't tell"
ReplyDeleteAkan tambah menarik kalau ditambahin paragraf yg menggambarkan suasana pantai.
Btw.. Aku kalau inget lagunya Acha otomatis inget filmnya sama Irwansyah.
Ceritanya mengharu biru sekali mba Eri. Memang ya kadang perbedaan status pendidikan itu seringkali bikin kita minder, apalagi kalau bertemu dgn temannya. Tapi relasi ini bisa diseimbangi dgn skill lain yg dimiliki ya seperti kemampuan Raisa dalam memasak.
ReplyDeleteEndingnya happily ever after ya
Pas cerita ini, beneran lagunya ACHA yaa..
ReplyDeleteSedih banget.
Aku kangen sama film jaman dulu. Diangkat dari sebuah novel populer yang kisahnya menyayat hati.
OMG so sweet banget loh, kalo orang sudah sampai rela donor gitu memang sudah cinta banget sih. Jadi inget temenku dulu mau donor untuk Ibunya si pacar yang sakit, kebayang deh segitu cintanya kan dia sama pacarnya. Huhu, nyesss banget yaaa
ReplyDeletewah kupikir raisa kena usus buntu, ternyata ginjal ya. sayang nih kurang panjang cerpennya jadi nggak ada detail kenapa raisa bisa sakit ginjal
ReplyDeleteYa ampun sungguh tulus banget ... pengorbanannya sangat2.. kira2 masi ada ga ya yg kayak gt sekarang :)
ReplyDelete