Menuju Ketenangan Jiwa - Bag. 1
Masih dalam cerita yang bernuansa islami. Ini juga pernah diikutkan untuk mengikuti event menulis cerpen dalam nuasan Idul Fitri. Namun, saat itu peserta tidak mencukupi kuota, sehingga event tersebut dicancel.
MENUJU KETENAGAN JIWA
Oleh : Ery Udya
Dua tahun telah berlalu,
waktu berjalan begitu cepat. Namun, kenangan masa lalu itu masih
terngiang selalu dalam benak Indri. Masih terukir dengan jelas dalam
ingatan Indri, ketika dia mengendap-endap seperti pencuri yang telah
berhasil memboyong semua barang berharga di suatu rumah. Dia sudah
berusaha untuk melupakan hal itu, tapi hati nuraninya berkata lain.
Nuraninya bergejolak menguntai semua kenangan itu. Membawa Indri ke
masa yang pahit. Di mana masa itu Indri pergi kabur dari rumah
di tengah malam melalui jendela dan hanya meninggalkan pesan
secarik kertas di bantal tidurnya.
“Allahu Akbar.. Allahu
Akbar..” kumandang Azan Maghrib membuyarkan lamunan Indri.
Segeralah dia beranjak untuk berbuka puasa. Nuansa berbuka puasa yang
cukup menyedihkan, hanya sendiri, di kota besar. Air matanya tak
tertahankan untuk menahan kesedihan. Sudah seminggu lewat, ketika
waktu berbuka puasa, saat itu pula air matanya bercucuran tak
tertahankan.
Bulan puasa ini, terasa
berat untuk Indri. Beban hatinya terasa sudah memuncak hingga
mencecik di tenggorokan. Jeritan tangisan hatinya sudah sangat
memilukan. Setiap hari dia melalui hidup yang begitu berat, meski
banyak uang yang dia miliki, meski punya jabatan di tempat kerjanya.
Namun, apa lah arti semua itu jika kedamaian hati tak pernah ia
dapatkan. Berkali-kali dia berakhir pekan untuk menghilangkan jenuh
dengan kerja, tetapi tetap saja, tak ada yang bisa melenyapkan
kegundahan hatinya.
Waktu berbuka sudah berlalu,
dan kini berganti kumandang azan untuk Isya. Indri melangkahkan
kakinya menuju masjid dekat rumah. Hanya berjarak sekitar seratus
meter saja. Dia datang dengan
tetangga-tetangganya. Untuk sejenak dia merasa tersenyum, berbaur
dengan lingkungannya, tapi hatinya siapa yang tahu?
Senyum, ramah tamah dan
segala sopan santun Indri rasanya masih kurang
lengkap. Dalam dirinya masih saja ada yang kurang. Dia selalu
bertanya pada dirinya sendiri, kenapa hal itu sampai terjadi. Selama
Ramadhan ini, Indri mengalami guncangan yang cukup berarti. Gejolak
jiwanya begitu meletup-letup seperti buihan air mendidih. Nuraninya
sedang membrontak pada dirinya, hingga ia tak kuasa, hingga lagi-lagi
dia hanya mampu meneteskan air matanya. Dia merasa ini adalah cobaan
yang paling berat yang ia terima selama hidup ini. Langkah kakinya
seperti sudah tak menapak pada bumi ini. Sudah merasa melayang
seperti cenayang yang tak mampu
menginjakkan kaki di bumi. Jalannya sudah terhuyung-huyung seperti
orang sedang mabuk.
Keramaian kota besar tak
mampu menghilangkan rasa sepi Indri. Dia bekerja dari pagi hingga
sore, berbaur dengan beberapa orang, baik sesama pegawai kantor
maupun dari customer perusahaan. Tapi, semua itu tak ada arti bagi
Indri. Semua itu rasanya sia-sia. Bagi Indri, itu hanyalah rutinitas
manusia hidup, yaitu bekerja agar bisa memenuhi semua kebutuhan, agar
tidak kekurangan.
Ramadhan kian beranjak
merapat ke hari kemenangan. Libur hari raya Idul Fitri sudah sangat
dekat, di kantor mulai dibagikan Tunjangan Hari Raya dan informasi
hari libur dari tanggal berapa sampai tanggal berapa.
“Permisi mba Indri,”
ucap Sekretaris di depan pintu ruangan kerja Indri.
“Ya, saya. Mba Rina,
silakan masuk.” Ucap Indri.
Rina, seorang sekretaris,
masuk ke ruangan Indri dan berkata, “Mba Indri, Mba dipanggil bos.
Mungkin ada yang penting menyangkut hari liburan lebaran ini.”
Jelas Rina.
“Hal penting apa ya, Mba
Rina?” tanya Indri.
“Sepertinya yang berkaitan
dengan customer, karena dari customer luar negeri tidak ada yang
libur lebaran.” Jawabnya.
“Baiklah, saya segera ke
ruangan bapak.” Indri dan Rina meninggalkan ruangan. Rina menuju
ruangannya sendiri, dan Indri menuju ruangan bosnya.
Tok..Tok.. Indri
mengetuk pintu, dan “Permisi, Pak,” kata Indri.
“Ya, Indri silakan masuk.”
Jawab pak bos.
Indri masuk ke ruangan,
kemudian duduk di kursi dekat meja pak bos.
“Bapak memanggil saya?”
tanya Indri. Dia berharap tidak ada tugas di hari libur.
“Iya Ndri,
sebentar lagi libur lebaran yang hanya tinggal hitungan hari,”
ucapnya. Kemudian dia melanjutkan, “Kita libur lebaran mulai H-3,
dan masuk H+4, tolong kamu atur dengan beberapa customer di luar
negeri, agar untuk urusan kerjaan lebih baik setelah kita libur.
Karena saat ini kita juga masih sibuk untuk memberikan tunjangan hari
raya, persiapan libur, belum lagi yang mudik ke luar kota.”
Mendengar kata “Mudik”
membuat gejolak hati Indri bangkit lagi, membuat hatinya teriris
lagi. Selama ini dia belum pernah sekalipun mudik, baik libur lebaran
atau libur-libur nasional yang lainnya.
“Bagaimana Ndri, kamu
bisa?” tanya bos untuk memastikan bahwa Indri bisa melakukan
pekerjaan ini dengan baik.
“Iya, Pak, saya usahakan,
akan saya atur untuk jadwal meeting dan presentasi dengan
customer-customer di luar negeri.” Jawab
Indri penuh keyakinan.
“Baik, bagus. Jadi, nanti
kita libur lebaran bisa menikmatinya dengan tenang menghabiskan waktu
dengan keluarga besar. Tidak seperti tahun kemarin, libur lebaran
masih tetap saja ada email masuk menanyakan pekerjaan.”
“Oh ya, satu lagi, untuk
THR kamu, mau ditransfer atau cash?” tanya bos.
“Ditransfer saja, Pak,
cash sepertinya cukup berbahaya, kadang rawan di jalan
raya kalau saya membawa uang cash cukup banyak.” Jelas
Indri.
“Baik, ya sudah. Tolong
segera atur dengan customer luar negeri, itu tugas utama kamu.”
“Ya pak, Indri permisi
dulu.”
Indri meninggalkan ruangan
bosnya, dan kembali ke ruangannya sendiri. Dia segera melaksanakan
tugas yang diperintahkan oleh bosnya itu. Bagi Indri itu hal yang
mudah, dia sudah terbiasa berkomunikasi dengan customer-customer dari
luar negeri. Menghadapi negosiasi harga, melayani Customer
Complain Services,
dan melakukan promosi produk perusahaan, itu semua hal yang
sangat-sangat biasa. Sangat mudah bagi Indri. Hal yang sulit bagi
Indri saat ini adalah berdamai dengan hatinya sendiri. Sampai saat
ini, nuraninya terus memberontak. Hatinya kian menjerit hingga batin
Indri tersiksa.
***
Berhubung ditulis di blog, sehingga saya buat dua halaman.
Post a Comment for "Menuju Ketenangan Jiwa - Bag. 1"
Terima kasih telah membaca postingan pada blog saya. Silakan tinggalkan komentar, dimohon jangan menggunakan link hidup.
Terima kasih.
:) :)