Menuju Ketenangan Jiwa - Bag. 2
Hari yang ditunggu-tunggu
seluruh pegawai dan karyawan mana saja adalah hari libur lebaran.
Hari ini sudah H-3, seluruh karyawan termasuk Indri libur bersama
untuk hari raya Idul Fitri. Mereka semua bahagia, selain mendapatkan
THR yang besar, mereka tentunya akan berkumpul dengan keluarga
tercinta. Sedangkan Indri? Dia masih bingung mau kemana libur tahun
ini? Tahun lalu dia menghabiskan waktu di luar kota yang sangat
terpencil, dan tahun ini? Indri belum ada gambaran apa pun dalam
benaknya mengenai libur lebaran tahun ini. Dia belum mendapat
petunjuk, dia masih belum bisa merapikan hatinya.
Hari telah berlalu, sebagian
warga kota besar sudah mudik ke kampung halaman. Indri masih sendiri
di dalam kamar, sunyi, mengintip jalan dari bilik jendela terlihat
sepi. Tak seperti biasanya. Dia bingung, mau apa dan harus bagaimana.
Untuk menghilangkan beberapa kebingungannya, dia mengapack beberapa
baju ke dalam tas rangsel. Dia juga menyiapkan uang cash secukupnya.
Dia berniat mau pergi, meski entah kemana. Setelah itu, dia ke
stasiun kereta api, tapi sayangnya tiket sudah habis dan full
booking. Indri tak putus asa untuk mengembara, dari stasiun dia
ke terminal bus. Di terminal bus hampir saja tidak kebagian tiket
lagi, tapi beruntung dia masih dapat tiket meski harus mengantri
seharian penuh.
Perjalanan dengan bus di
saat mudik seperti ini, sungguh tidak mengasyikan. Ada beberapa
penumpang lain yang mabuk darat, ada yang tidur sesuka hati, berbau
pengap dan aroma tak sedap dari bau badan semua orang. Meskipun sudah
menggunakan bus AC tetapi tetap saja panas menghampiri, belum lagi
macet yang berkepanjangan. Sungguh perjalanan yang tidak mengenakan,
harusnya Indri membawa mobilnya saja. Dia bebas akan berhenti di
peristirahatan yang mana, tidak seperti ini, capek di jalan.
Setelah menempuh jarak yang
jauh, dan dengan penuh kemacetan akhirnya perjalanan berakhir di
terminal kota tujuan. Perjalanan itu ditempuh selama dua hari satu
malam. Perjalanan yang sangat mengurus tenaga dan membuat remuk
tulang-tulang.
“Mba Indri? Mau naik
angkot? Mari naik angkot saya saja, ini
sudah mau jalan.” Ucap seorang sopir angkot ke Indri ketika dia
baru turun dari bus.
“Iya pak,” jawab Indri
dengan bingung. Siapa dia? Kenapa tahu namaku? Ucapnya dalam hati.
Indri tak banyak tanya lagi,
dia naik angkot itu, rasanya sangat hafal dengan jalan ini. Nuansa
yang sangat kental saat hari raya Idul Fitri datang. Suara takbir
berkumandang, aroma dapur yang penuh
kelezatan melekat pada Indri selama perjalanan. Kurang dari tiga
puluh menit, angkot itu berhenti. Indri turun, dia merasa sangat
tidak asing dengan yang ada di depan matanya saat ini.
Seiring dengan alunan takbir
yang berkumandang, Indri melangkahkan kakinya.
Perlahan namun pasti. Ragu, cemas, malu, dan takut menjadi satu. Saat
setelah di depan pintu, Indri ragu untuk mengucap salam atau pun
mengetuknya. Namun, tiba-tiba pintu terbuka, seperti tahu bahwa akan
ada yang datang. Indri terkejut, tertegun dan terdiam. Dengan lambat
dia memperhatikan siapa yang membukakan pintu untuknya. Dia melihat
dari ujung kaki hingga ke wajahnya. Lalu...
“Ibuu....” Indri
menjerit dan segera memeluk wanita paruh baya yang di depannya itu.
Wanita itu masih terdiam, dia hanya meneteskan air matanya.
“Maafin Indri bu, maaf
karena Indri sudah meninggalkan ibu dan bapak...” air mata mereka
pun tak bisa dibendung lagi. Uraian tangisan itu bercampur dalam rasa
haru, sedih, penyesalan tetapi bahagia.
“Indri...! kamu
sehat-sehat saja kan nak?” ibunya memeluknya kian erat. Mereka pun
masuk ke ruang keluarga agar bisa berbincang lebih santai.
“Ibu, bapak, maafkan
Indri, Indri sudah pergi dari rumah tanpa berpamitan,” rasa
bersalah dan penyesalan itu kini hadir pada diri Indri.
“Sudahlah nak, jangan
ungkit masa lalu itu. Yang ibu rasa itu kangen sekali dengan kamu,
Nak, dua kali lebaran kamu tidak ada. Rumah terasa sepi. Biasanya
kalau malam takbir seperti ini kamu yang selalu buat ketupat. Setiap
ibu buat ketupat, ibu selalu teringat kamu,” ucapan ibunya tercekat
di tenggorokan, sesak rasanya hingga tak bisa melanjutkan kata-kata
lagi. Ruangan itu kini memecah mengharu biru, tumpahan air mata dan
segala kesedihan tumpah menjadi satu.
Indri bercerita semuanya
kepada orang tuanya, bahwa dua tahun yang lalu dia pergi tanpa pamit
karena dia tidak mau dijodohkan, akhirnya Indri diam-diam kabur dari
rumah. Dia pergi ke kota besar untuk menemui kekasihnya. Dan ternyata
setelah tiga bulan tinggal di kota besar, kekasihnya itu ketahuan
selingkuh, dan Indri pun ditinggalkan. Beruntung dia masih punya
pekerjaan yang cukup baik, kalau tidak mau makan apa Indri di kota
besar tak ada yang kenal.
Selama ini Indri ingin
pulang, tapi rasa malu dan takut selalu menghantuinya. Namun, semua
itu sudah terbayar sudah. Karena kegelisahan dan gundah gulana Indri
telah membawanya kembali kepada orantuanya yang sangat mencintainya.
Namun, ibunya pun ingin tahu di mana sekarang
orang yang telah menyakiti hati putri kesayangannya.
“Lalu, di mana Pras
sekarang? Kamu tidak coba menghubunginya?” tanya ibunya ke Indri.
Indri masih terdiam tak menjawabnya.
“Saya di sini, Bu.”
Jawab seorang pria di ujung pintu depan.
Indri dan ibunya kaget
mendengar suara itu, mereka menghampiri ke depan.“Mas Pras? Mau apa
kamu ke sini?” ketus Indri.
“Silakan masuk, Pras.”
Ucap ibunya.
“Tidak usah disuruh masuk
orang seperti ini bu, lebih baik dia pergi
dari sini.” Indri jengkel dan masuk ke kamarnya.
“Maaf, jika anak saya
bersikap kasar.” Ucapnya.
“Tidak apa-apa bu, saya
paham itu.” Jawab pria itu. “Saya mengerti dan terima jika Indri
bersikap kasar terhadap saya. Memang saya yang salah.”
Kemudian pria itu
dipersilakan masuk, sedangkan ibunya masuk ke kamar Indri untuk
menasehatinya.
“Jangan kamu simpan dendam
di dalam hatimu, nak.” Ucap Ibunya.
“Tapi bu, ...” kata
Indri.
Ibunya menggelengkan kepala
dan berkata, “Dendam hanya akan merusak hati dan jiwamu. Di mana
pun kamu berada, dan apa pun yang kamu dapat di dunia ini, ketika
hatimu masih menyimpan dendam, maka seumur hidupmu tak akan pernah
tenang, Nak.”
Setelah dinasehati oleh
ibunya, Indri menurunkan egonya, dia mau memaafkan Prasetya, dan mau
menerimanya kembali. Dan malam takbir ini adalah malam takbir yang
paling indah yang pernah dirasakan oleh Indri. Minta maaf itu hal
yang mulia, dan memaafkan itu hal yang lebih berat, karena dengan
memaafkan maka tidak akan ada perasaan dendam lagi. Dan terlebih yang
membuat Indri bahagia, saat ini hati dan jiwanya telah tenang. Tidak
seperti kemarin-kemarin yang selalu gelisah.
*****TAMAT*****
Post a Comment for "Menuju Ketenangan Jiwa - Bag. 2"
Terima kasih telah membaca postingan pada blog saya. Silakan tinggalkan komentar, dimohon jangan menggunakan link hidup.
Terima kasih.
:) :)