Penantian Semu
Aku
tak pernah menyadari dan tak pernah menyangka, aku bisa jatuh cinta.
Ya, jatuh cinta dengan orang yang belum pernah aku lihat dalam wujud
aslinya. Aku hanya mengenal dia via online, awalnya memang hanya
chating saja. Tapi hari berganti hari dia begitu mempesona, dia
pandai menulis yang membuat hatiku luluh. Kita pun bertukar nomor hp,
jadi kita bisa saling sms-an
atau telpon. Hari terus
berganti, dan akhirnya pun aku menerima cinta dia,
“Iya, aku juga menyukai mu, aku mau jadi pacar kamu.”
Jawabku via telepon, sesaat setelah dia menyatakan bahwa dia cinta
padaku.
Baca juga:
Semenjak
jadian dengan dirinya, aku pun menjadi rajin online, agar bisa sering
mengobrol dengan dia. Senang, bahagia, tetapi ragu pun masih ada
dalam hatiku. “Apakah aku
benar-benar jatuh cinta pada dia, apakah aku benar-benar sayang pada
dia? Aku belum pernah melihatnya, aku belum pernah bertemu dengan
dia, hanya dari internet aku mengenalnya.”
Sering sekali hati dan pikirian ku berkata seperti itu. Ingin rasanya
datang menemui dia, tapi dia juga berada di tempat sangat jauh dari
kotaku. Dia tinggal di bagian barat Indonesia, sedangkan aku masih di
daerah pulau yang sudah padat penduduknya. Untuk mengetahui dia
benar-benar jatuh cinta padaku, aku harus berani bertanya tentang
kesungguhannya.
“Apa
kau benar-benar mencintaiku?”
tanyaku dari telepon.
“Iya,
aku benar-benar mencintaimu, apa kau tidak percaya padaku?”
balasnya meyakinkan.
“Jika
kau mencintaiku, bisa kah kau menemuiku, aku ingin bertemu
denganmu.” aku sedikit
memaksa, karena aku juga harus tahu siapa dia.
“Aku
pasti aku menemui, tapi bukan sekarang saatnya, percayalah, aku
sangat mencintai mu.”
Suaranya begitu jelas dan begitu meyakinkan. Dan aku kembali
mengiyakan.
Tak
terasa telah dua tahun lebih cinta jarak jauh ini terjadi, rasa
kesal, emosi dan cemburu, sering sekali menghampiri kita. Tapi, aku
selalu percaya pada dia, dia tak pernah selingkuh dariku, dia tak ada
wanita lain, hanya diri ku yang dia cinta. Aku percaya itu. Namun,
hasratku yang tak bisa ku tahan lagi, aku ingin sekali bertemu dengan
dia. Jiwa ku telah tersiksa, menunggu janjinya untuk menemui diriku.
“Kapan...?”
Seringkali aku bertanya pada dia, tapi dia hanya menjawab, “Sabar
sayang, aku pasti akan menemuimu, saat ini aku masih sangat sibuk
dengan pekerjaan-pekerjaanku.”
Yah,
aku terima saja apa pun ucapan dia, meskipun sesungguhnya hatiku
telah lelah, rasanya tak ingin lagi mempertahankan hubungan ini.
Tapi, aku juga harus menyadarinya, bahwa aku sudah sangat mencintai
dirinya. Sehari tak mengobrol dengan dia pun aku tak bisa. Mungkin
aku telah terjangkit cinta buta. Teman-teman ku banyak yang tak
setuju dengan cinta yang ku alami. Mereka bilang, “ini
hanya cinta semu, hanya bayangan.” Aku
tak peduli dengan orang-orang yang komplain.
Hampir
tiga tahun aku menjalani hubungan ini, makin hari makin berat cobaan
yang kita hadapi. Hingga dari orang tuanya yang tak merestui hubungan
ini. Mereka anggap ini adalah sebuah kegilaan. Hatiku pun langsung
teriris perih, jika ini hanya sebuah kegilaan kenapa hati ku tersayat
seperti ini? Jika ini sebuah khayalan, kenapa aku bisa merasakan
dalamnya cintaku pada dirinya? Aku mencoba bertahan dari semua godaan
di sekitar, aku bertahan menjaga cinta yang ia berikan. Bertahan
dalam puing-puing ketidakpastian yang mencabik nurani. Telah ku
lakukan semua, agar dia menjadi milikku. Tapi, Takdir pun berkata
lain, memaksa diriku lelah dalam kehampaan penantian yang tiada
pasti.
Suatu
malam aku kembali menyakan pada dirinya, seriuskah dengan hubungan
yang kita jalani?
“Meskipun
tak ada yang setuju dengan cinta kita ini, aku tetap mencintai mu.”
ucapnya yang mulai tercekat, dia juga merasakan apa yang aku rasakan.
Rasa sayang, cinta dan ingin bertemu melebur menjadi satu.
“Aku
ingin bertemu denganmu, jujur saja, aku sudah lelah dengan semua ini.
Hati dan jiwaku ini sepertinya tak sanggup lagi untuk menanti dirimu
yang tak pasti.” air mata
ku pun mulai terurai.
“Apa
maksud kamu? Kenapa kau bicara seperti itu?” dia
terkejut dengan apa yang aku ucapkan. Aku menahan nafas, menahan rasa
sakit yang ada di dalam dada.
“Maafkan
aku, sekali lagi aku minta maaf.. aku sudah sangat lelah dengan
hubungan ini. Hubungan yang tak jelas ini.”
Dia hanya menghela nafas mendengarkan ku, terdengar lirih isak
tangisnya.
“Hubungan
ini hanya sebuah bayangan, yang tak mungkin menjadi nyata. Sudah aku
pertahankan rasa cinta, sayang dan semua asa terhdapmu, tetapi makin
hari makin semu saja yang aku rasakan. Maafkan aku, aku harus
mengakhiri semua ini. Aku akui, aku sangat mencintaimu.
Bahagialah dirimu dengan
yang lain, agar kau juga tidak tersisa batin dan jiwa. Aku tahu kau
sangat mencintaiku, begitu juga diriku. Tapi ini lah jalan yang harus
kita ambil, selama hampir tiga tahun ini, kita hanya menyiksa batin,
ingin berjumpa tapi tak bisa, ingin bersama tapi tak bisa. Hanya
suara yang bisa kita dengar. Sudah saatnya kita akhiri semua ini.”
aku pun tak berdaya lagi, tubuhku bergetar, aura dingin merasuk dalam
sanubariku, air mata terus mengalir dan tak berhenti.
“Baiklah,
jika itu mampu membuatmu lebih bahagia, aku terima dengan ikhlas. Itu
sudah menjadi keputusanmu, percuma juga kalau kita pertahankan...”
suaranya terhenti, dan dia
memutuskan teleponnya.
Lemah
rasanya jiwa dan ragaku ini, rasa sakitnya begitu nyata.
Maya
yang tergantung mata, semua yang menyisakan tangis. Begitulah yang
aku rasakan, dia tak bisa ku lihat, tak bisa ku sentuh. Tetapi rasa
itu benar-benar nyata, menyiksa batin. Kini semua telah berakhir
mencoba hidup tanpa mendengar suaranya.
Post a Comment for "Penantian Semu"
Terima kasih telah membaca postingan pada blog saya. Silakan tinggalkan komentar, dimohon jangan menggunakan link hidup.
Terima kasih.
:) :)