Skip to content Skip to sidebar Skip to footer

Ilusi Cinta - Part 5 (Ending)



Malam yang ditunggu datang. Aku coba mengikuti Icha ke sebuah cafe. Rasa penasaranku semakin tinggi, dengan siapa dia akan berjumpa? Kekasih barunyakah? Atau hanya teman-teman kampusnya saja? Pertanyaan-pertanyaan itu terus mengalir bak banjir bandang di kepalaku. Seperti tidak ada kalimat lain yang tercipta.

Kudapati Icha duduk berhadapan dengan seorang pria, mungkin dia anak chating yang dari Jakarta itu. Karena rasa penasaran dan keingintahuan diriku sangat tingi, aku mengendap-endap dan berhasil duduk di kursi belakang mereka. Merasa seperti detektif saja aku ini, menguping pembicaraan mereka dengan seksama tanpa ketahuan. Ada rasa puas dan bahagia menghampiri diri ketika menguping obrolan mereka. Icha menolak cinta dari pria yang bernama Rehan itu. Meski pria itu bersikeras untuk menjadi kekasihnya, namun Icha tetap menolaknya dan segera pergi meninggalkan cafe.

Icha keluar dari Cafe di saat hujan deras. Dia menerobos begitu saja tanpa jas hujan maupun payung. Setengah berlari ku mengejarnya, berteriak memanggilnya, namun Icha tak menghiraukan, bahkan dia semakin cepat berlari.
 
“Icha, tunggu!” teriakku keras melawan suara hujan yang menulikan telinga.

Icha mendengar dan berhenti. Dia menoleh kepada sumber suara yang memanggil namanya. Tampak kaget jelas terpampang di raut wajahnya. Pasti dia terkejut karena bukan Rehan yang mengejar melainkan diriku yang tak pernah disangka sebelumnya.
 
“Kau? Sedang apa kau di sini?” tanyanya.
“Harusnya aku yang bertanya, sedang apa kau berlari di tengah hujan begini?” balasku.
“Sudahlah, gak usah basa-basi, apa maumu?” sergapnya.
“Aku mencintaimu! Aku masih mencintaimu, Cha. Apa kita gak bisa kayak dulu lagi? Bukankah masih ada cemburu di hatimu ketika kudekat dengan perempuan lain?” ungkapku.
 
Icha masih terdiam, entah apa yang dipikirkan. Entah ragu entah bimbang yang sedang menyelimuti hatinya. Pria yang dari Jakarta sudah ditolaknya, jika aku ditolak juga, sebenarnya siapa yang dia cinta? Apa mungkin ada pria lain lagi di hatinya?

Di tengah jalan raya dengan hujan deras membuat lalu lintas terganggu dengan hadirnya kita berdua yang saling mematung. Bunyi klakson dari dua arah terus memekik di telinga kita. Bahkan suara-suara sumbang pun menyeru jelas.

“Woi.. cari mati, kalian?!”
“Minggir, goblok!”
“Ini bukan jalan bokaplu!”
 
Para pengendara mencemooh dan menghujat kita. Aku memaklumi dan sadar benar karena ini salah kita. Di tengah jalan keramaian kota, dua insan berdiri mematung, siapa yang tidak akan jengkel. Aku menuntun Icha ke tepi jalan, setidaknya tidak akan mengganggu lalu lintas yang padat dan bahaya karena hujan deras. Sialnya tidak ada tempat duduk, lagi-lagi kita harus berdiri, kali ini di trotoar jalan.
 
“Cha, kau masih mencintaiku, kan?”
 
Icha menggeleng!
 
“Kau bohong, Icha!” tukasku.
“Apa gelengkanku belum jelas, Di?”
“Jika kau tak mencintaiku atau pun Rehan, lalu siapa yang sebenarnya kau cintai?” emosi di tubuhku mulai tumbuh. Nada suaraku semakin keras.
“Aku tidak mencintai siapapun, baik kau atau pun dirinya, atau siapapun!” jelasnya.
Aku memegang kedua pundaknya dengan erat, seakan-akan jawaban Icha hanyalah sebuah kebohongan. Aku ingin memastikannya sekali lagi.
“Aku tidak percaya, Cha!” kali ini emosiku telah nyata. Iya emosi, hari ini telah kuperjuangakan untuk menemuinya. Namun, jawaban itu membuat luka di hati kembali menganga. Kupastikan luka ini akan lebih lama untuk disembuhkan.
 
Ini jelas bukan hanya dari sebuah obrolan tanpa tatap muka di mirc. Sangat jelas kita berhadapan muka, saling memandang tajam. Buliran air mata yang terjatuh di pipinya dan tersapu hujan pun masih bisa terlihat dengan jelas olehku.

Sesekali ku menutup mulut sendiri dengan tangan untuk menahan tangsiku. Mata tak berkedip masih melihat matanya, mencoba mencari celah ruang di hati agar bisa kusinggahi. Perlahan juga kulepaskan genggaman erat di pundaknya. Kakiku melangkah centi demi centi untuk mundur dari hadapnya. Tak perlu lagi kutanyakan tentang rasa yang ada di hatinya. Nyatanya dia tetap membuatku kecewa dan menggores luka di hati.

Sekarang kita akan berjalan ke arah yang berbeda. Jalan yang saling membelakangi dan hanya punggung saling memandang. Sesekali aku menoleh ke belakang, berharap dia memandangku, tapi semua itu sia-sia. Dia tetap lurus ke depan tanpa menengokku sedikitpun. Ini rasanya sangat menyesakkan dan ingin membuatku hilang saja tanpa rasa di hati. Andai saja kubisa percepat waktu, aku ingin melewati kejadian ini hanya sedetik saja.
 
Terhuyung-huyung langkahku seperti orang-orang yang telah banyak meminum tuak. Kata-katanya masih teringat jelas bagaikan cambuk yang membuat hati ini perih, terus menggerus luka di hati hingga hancur luluh berantakan. Aku sendiri terseok-seok melangkah dengan segenap hancurnya hati. Ah, tidak, aku tidak sendiri, aku bersama langi yang tak henti meneteskan air seakan-akan ingin membasuh lukaku, tetapi nyatanya luka ini semakin menjadi.

Selama ini, aku menunggu kesempatan baik seperti ini. Karena dia yang selalu kurindu dan kuharapkan untuk berbicara berdua tentang cinta. Pikirku tidak ada kata terlambat untuk mengungkapkan semua isi hati. Tapi kali ini lenyap tak tiada sisa.

Lesu dan lemah sudah tubuh ini, hingga kutersungkur. Terduduk di tepi jalan, melihat dan mendengar semua kendaraan yang berlalu lalang dengan padatnya di tengah hujan deras. Telingaku kini juga lebih tajam, suara-suara air jatuh ke tanahpun dapat kudengar, bahkan dedauan yang saling tertaut karena angin, pun mendengarnya. Sebaian orang melihatku dengan jijik, tetapi ada juga yang merasa iba, mereka pikir aku orang gila yang kabur dari rumah sakit jiwa.

Andai saja ini di tepi danau atau hutan belantara, pasti sudah berteriak sekuat tenaga. Meluapkan segala emosi dan kesal. Dan saat ini, bisa apa aku? Menggerakkan jemari saja pun susah. Iya, jiwa ini merasa beku, bukan karena dinginnya malam diguyur hujan, melainkan tak ada lagi harapan di hati yang mampu menghangatkan jiwa.

Setahun sudah kulalui tanpa suara dan harapan akan hadirnya. Sekalinya bertemu, justru membanting semua jiwa dan hati yang mulai kubangun. Bahkan, halusinasiku tentang Icha kini tak bisa kuhindarkan lagi, suaranya begitu nyaring terdengar di telinga meski suara itu pudar dan lirih. Apalah kini diriku, tiada cinta dan kasih, hanya seonggok manusia lemah yang telah hancur dan berbalut bayang-bayang wajahnya. Semuanya telah berakhir, aku harus kembali membawa kenangan tentang cinta yang tak terbalas serta rasa kehilangan yang begitu mendalam.

“Adi, aku mencintaimu...”
Aku masih tertahan dan terdiam. Mencoba mencerna kalimat yang baru saja kudengar. Tak ingin menambah luka dengan berkhayal Icha kembali menemuiku.
“Adi, maafkan aku, sebenarnya aku sangat mencintaimu, namun aku takut jikalau suatu saat nanti kita berpisah, aku tak sanggup, Di. Untuk itu, aku lebih memilih sendiri tanpamu, namun nyatanya, dirimu terus hadir di setiap langkahku. Tak bisa kutepiskan tentang dirimu.” Suaranya lirih namun terdengar jelas.
Aku bangkit dan menolehnya, berharap ini nyata, bukan hanya halusinasiku saja.
“Icha?” seakan tak percaya, dia benar-benar dihadapku. Aku mendekat dan memeluknya.
 
Cinta ini memang miliki kita. Tidak ada obat yang mujarab bagi jiwa-jiwa yang hatinya terlunta-lunta karena cinta, kecuali dari dia sendiri yang memberikan penawarnya. Aku menerimanya kembali bukan karena aku laki-laki hina dan bodoh, tapi karena aku menyadari dan tahu, hanya dia yang mampu menyulam kembali hatiku.
***TAMAT***

Eri Udiyawati
Eri Udiyawati Hallo, saya Eri Udiyawati. Seorang Perempuan yang suka menulis dan traveling. Blogger asal Purbalingga, Jawa Tengah. Suka menulis berbagai topik atau bahkan mereview produk. Email : eri.udiyawati@gmail.com | Instagram: @eryudya | Twitter: @EryUdya

8 comments for "Ilusi Cinta - Part 5 (Ending)"

  1. "Icha, ke mana saja dirimu? Kenapa menghilang begitu lama?"

    Nice story, mbak :)

    ReplyDelete
  2. Icha mungkin lelah, jadi menghilang, hehhehe.. makasih, mbak :)

    ReplyDelete
  3. Sepertinya saya harus baca dulu dari part pertama, ya :)

    ReplyDelete
  4. gagal faham. mungkin saya juga harus baca dari part yang pertama :-)

    ReplyDelete
  5. Mungkinkah icha bakal kembali ke orang yg dia sayangi

    ReplyDelete