Skip to content Skip to sidebar Skip to footer

English Is The Best, Teacher Is The Beast


Namanya Rani, dia anak yang rajin di sekolah dan di rumah. Anak yang ramah kepada semua orang. Dia selalu tersenyum meskipun sedang bersedih. Dia berasal dari keluarga yang sederhana. Ayahnya seorang nelayan, dan ibunya penjual dendeng atau pindang ikan. Rani masih duduk di kelas 3 SMP, dan adiknya, Santi masih kelas 5 SD. Dua perempuan yang bersaudara itu sangat rukun. Mereka selalu membantu orang tuanya. Setelah pulang sekolah, Rani ikut membantu menjual dendeng dan atau pindang di kampungnya. Terkadang dia menjajakan dendeng sampai malam, dan ketika malam datang tinggalah lelah yang ada pada dirinya. Sering kali dia tidak belajar karena kelelahan, tapi Sang Kuasa berkehendak lain. Meskipun dia jarang belajar dia selalu mendapat peringkat 1 di sekolahnya.

Untuk menempuh ke sekolah tak jarang Rani berjalan kaki. Hal itu ia lakukan agar ia bisa berhemat dan menabung. Dia anak yang benar-benar sabar, dan teguh hati. Guru dan teman-temannya juga menyukai Rani, selain pandai, Rani juga peduli terhadap teman-temannya. Dia sering membantu belajar teman-teman yang kesulitan akan materi pelajaran, terutama untuk pelajaran bahasa Inggris.

Hari ini adalah hari Senin, seperti biasa pasti di sekolah mengadakan upacara bendera. Dan ada pengumuman tentang pemenang lombat debat bahasa Inggris. Tentu saja satu sekolah sudah tahu, siapa lagi kalau bukan Rani. Dan Senin ini ada tambahan yang berbeda, yaitu diperkenalkan guru baru untuk materi pelajaran bahasa Inggris. Guru tersebut khusus mengajar di kelas 3, yang beberapa bulan lagi akan menghadapi UAN. Guru itu memang terlihat sangat smart. Seorang wanita yang berambut gelombang sebahu. Dia memakai kaca mata tebal yang menjadi penghias wajahnya. Nama guru itu adalah Ibu Susan Herlina, dia single, dan berusia 31 tahun.

Perkenalan selanjutnya dilakukan bu Susan di dalam kelas. Dan kebetulan jam pertama untuk kelas Rani.

"Okay anak-anak..!! Ibu tidak akan cerita panjang lebar. Hal itu akan mengganggu jam pelajaran. Dan langsung saja kalian buka buku paketnya halaman 14. Dan tugasnya dikerjakan, langsung dikumpulkan saat pelajaran ini selesai."

Suasana kelas mendadak menjadi tegang, anak-anak belum pernah bertemu dengan guru yang seperti ini. Dalam hati sang murid-murid, mereka semua mengeluh, seharusnya pelajaran ini diberi arahan terlebih dulu. Tidak langsung seperti ini. Mereka belum terbiasa.

"Sssstt... Rani..." sebut dengan lirih seorang murid laki-laki. Dia duduk di seberang Rani.

"Raniii... Raaaniiii...." ucapnya lagi, tapi Rani tidak mendengarnya, karena memang suaranya sangat lirih.

"Ranii... Ra aan..." suaranya terpotong, tiba-tiba saja bu Susan sudah ada di hadapannya.

"Siapa nama kamu?!!" tanya bu Susan dengan tegas.

Seisi kelas semakin tegang memperhatikan bu Susan dan seorang murid laki-laki itu.

"Ibu tanya, siapa nama kamu?" tanya bu Susan sekali lagi.

"Ddii.. Dii.. Dion, bu..." jawabnya dengan badan bergemetar.

"Dion!! Kali ini ibu maafkan.. Tapi jangan ulangi lagi. Kalau ada tugas harus dikerjakan sendiri, mengerti kamu?!!"

"I Iyaa bu.. Dion mengerti."

Bu Susan kembali ke depan kelas, dengan keras dia berbicara.

"Ini perhatian untuk semuanya. Siapa saja yang mencotek atau bekerja sama mengerjakan tugas, kalian saya hukum mengerjakan tugas di lapangan basket. Dan kalau ada yang tidak suka dengan saya, kalian boleh tidak mengikuti pelajaran saya. Kalian paham?!!"

"Iya bu, paham..." jawab murid dengan serempak.

"Sudah, lanjutkan tugas kalian, waktu masih 15 menit. Selesai tidak selesai tetap harus dikumpulkan."

##

Hampir setiap pelajaran English, murid-murid merasa tersiksa. Hingga suatu hari Rani berlaku tidak seperti biasanya.

"Rani... Kalau kamu diberi hukuman sama bu Susan, gimana?" ucap Silvi teman sebangku Rani.

"Tidak apa-apa, Silvi. Saat ini aku sangat lelah, benar-benar sakit. Aku harus ke UKS, aku butuh istirahat." ujar Rani.

"Lalu, bagaimana kalau bu Susan menanyakan kamu?" tanya Silvi.

"Jawab saja aku sakit, sedang di UKS."

"Baiklah Rani, tapi kamu harus siap-siap juga, pasti bu Susan akan marah, mengira kamu tidak menyukainya."

"Tak apa-apa, Silvi.."

Rani menuju UKS dan Silvi menuju kelas. Kesehatan Rani memang terlihat menurun. Dia terlihat pucat, dan tampak lesu. Dari tadi dia memegang dadanya, entah penyakit apa yang dideritanya, tak ada yang tahu, karena Rani tidak pernah checkup ke dokter.

"Selamat siang anak-anak.." sapa bu Susan di depan kelas.

"Selamat siang bu.." jawabnya para murid dengan kompak.

Bu Susan memperhatikan satu per satu murid di kelas. Terlihat bangku kosong di sebelah Silvi.

"Silvi, kemana Rani?" tanya bu Susan.

"Rani sakit bu, sekarang sedang istirahat di UKS."

"Sakit apa dia?" tanya bu Susan lagi.

"Saya kurang tahu bu, tapi Rani terlihat sangat pucat." jawab Silvi.

"Okay,, kalian pelajari modul baru ini. Tolong ketua kelas membagi modul ini. Ibu keluar sebentar."

Bu Susan curiga terhadap Rani, dia menyangka bahwa Rani tidak menyukainya. Mungkin benar seperti itu. Dengan penuh penasaran, bu Susan menuju ruang UKS untuk mengetahui keadaan Rani yang sesungguhnya. Bu Susan masih di balik pintu UKS, tapi di mengurungkan niatnya menjenguk Rani. Di dalam UKS terlihat bu Niken yang sedang merawat Rani. Bu Niken adalah guru English kesukaan Rani. Selain baik hati, bu Niken juga pandai membimbing murid-murid dengan baik.

"Bu Niken..." panggil Rani dengan suara parau. Suaranya seperti tercekat di tenggorokan.

"Iya Rani,," jawab bu Niken.

"Kenapa bukan bu Niken yang mengajar Rani? Apa Rani ada salah ke bu Niken?" ungkap Rani.

Bu Niken tersenyum, dan berkata, "Rani, siapa bilang Rani ada salah sama ibu? Tidak ada nak, dan kalau pun ada, pasti ibu maafkan. Rani kan baik. Dan untuk belajar dengan ibu, Rani masih bisa belajar dengan ibu, kapan saja selain di jam sekolah." jelas bu Niken dengan lembut.

"Benarkah bu.?" tanya Rani meyakinkan.

"Iya nak.."

Di balik pintu UKS, bu Susan mendengar semua obrolan antara Rani dengan bu Niken. Bu Susan merasa dicurangi dan dikhianati oleh Rani dan bu Niken. Dari balik pintu, bu Susan menunggu bu Niken keluar.

"Bu Niken, maaf bu Niken. Mau sampai kapan bu Niken memanjakan Rani?" cetus bu Susan.

"Bu Susan? Maksud bu Susan, apa?" bu Niken masih belum mengerti.

"Bu Niken tidak usah pura-pura tidak tahu, saya sudah melihat dan mendengarnya sendiri."

"Bu Susan, maaf.. Saya rasa ini hanya salah paham saja." balas bu Niken dengan sabar.

"Salah paham? Salah paham bagaimana? Jelas-jelas bu Niken memberikan perhatian yang berlebihan kepada Rani, sehingga dia tidak mau mau dengan guru yang lain."

"Maaf bu Susan, saya perhatian kepada semua murid di sini. Saya tidak pernah membatasi mereka untuk belajar apa pun dan dengan siapa pun. Selama itu dalam kebaikan."

Mendengar jawaban dari bu Niken, bu Susan merasa tersinggung. Dia kembali ke kelas dengan penuh emosi. Dengan cepat dia sudah di depan kelas. Dengan cepat pula dia mengambil buku di tasnya. Dengan langkah yang khas, dia menghampiri Silvi.

"Silvi, pulang sekolah tolong kasih buku ini ke Rani." perintah bu Susan ke Silvi.

"Iya bu, maaf buku apa ini?"

"Itu buku soal-soal bahasa Inggris yang harus selesai dan diserahkan ke saya besok. Tolong sampaikan ke Rani."

"Tapi Rani sedang sakit bu,, kasihan dia.."

"Kalau dia memang benar-benar anak yang pandai bahasa Inggris, dia tidak akan menolaknya dalam keadaan apa pun!"

Silvi pun menyerah, menerima buku yang berisi soal-soal untuk dikerjakan Rani.

"Sungguh keterlaluan, guru gak punya hati, gak punya peri kemanusiaan. Apa dia tidak kasihan ke Rani? Atau mungkin dia tidak pernah sakit?" Gerutu Silvi dengan kesal. Setelah jam pelajaran selesai, Silvi bergegas menemui Rani di UKS.

"Rani.. Maafkan aku.." ucap Silvi.

"Silvi? Maaf..? Untuk apa? Kamu tidak salah apa-apa."

"Hmmm.. Ini Rani, tugas dari bu Susan, maafkan aku Rani. Aku tak bisa mencegah bu Susan untuk memberikanmu tugas sebanyak ini." Silvi benar-benar merasa bersalah. Dan Rani tersenyum, berusaha untuk sabar.

##

Hari sudah terlalu larut, Rani masih sibuk mengerjakan tugas dari bu Susan. Orang tuanya telah mengingatkan Rani untuk beristirahat, karena kondisi Rani juga sedang lemah. Rani masih terus berusaha untuk mengerjakannya. Dengan sisa-sisa tenaga dan pikirannya, ia terus mengerjakan tugas dari bu Susan. Namun, rasa lelah dan kantuk jua lah yang mengalahkan Rani. Dia pun tertidur.

Esok hari, dia bangun seperti biasa, meskipun ia tidur sudah larut. Sebelah berangkat ke sekolah, dia membantu orang tuanya membersihkan rumah. Setelah semuanya selesai dan rapi, Rani pergi ke sekolah. Hari ini dia naik angkot, dia menyadari tubuhnya sudah sangat lemah. Jika dibiarkan jalan kaki, pasti tidak sanggup lagi.

Tugas dari bu Susan belum selesai, pasti Rani akan mendapat celaka dari bu Susan.

"Katanya kamu pandai pelajaran bahasa Inggris, tapi kenapa belum selesai?!!!" bentakan bu Susan begitu nyaring terdengar, hingga satu ruang kelas tertunduk.

"Maaf bu, saya kecapekan dan ketiduran." Rani berusaha jujur.

"Tidak usah beralasan, sekarang juga cepat kerjakan! Dan anak-anak yang lain, lanjutkan belajarnya!"

Rani memenuhi perintahnya, dengan badan yang lemah dia mencoba berkonsentrasi. Sesekali dia bersandar sebentar pada Silvi. Tubuh Rani yang kecil sudah tidak sanggup lagi untuk menopang diri sendiri.

Waktu terus berjalan, Rani belum selesai mengerjakan tugas. Sebentar lagi harus dikumpulkan. Entah apa yang dia lakukan, dia menyelipkan secarik kertas di tengah-tengah buku tugasnya. Silvi berpikir mungkin itu jawaban yang ditulis Rani pada kertas terpisah.

Bel istirahat berbunyi, anak-anak keluar kelas untuk menghilangkan penat dan rasa tertekan. Sedangkan Rani menghampiri bu Susan yang masih duduk di depan kelas. Rani menyerahkan buku tugas itu. Dan kemudian dia berlalu meninggalkan bu Susan. Saat Rani masih di ambang pintu kelas, bu Susan berteriak.

"RAANNIII...!! Apa-apa an kamu?!!" bu Susan menghampiri Rani dan melempar kertas yang ada di dalam buku tugas Rani.

Rani terdiam, dia menyadari memang bersalah, dia seharusnya tidak melakukan hal itu. Tapi Rani sudah tidak tahan dengan perlakuan bu Susan.

Teman-teman yang di luar kelas, berlari menuju Rani. Tetapi mereka mendapati Rani sudah jatuh pingsan di kelas. Di lantai ada secarik kertas, dan berisi tulisan "ENGLISH IS THE BEST, BUT TEACHER IS THE BEAST!!"



Dalam kelas semakin gaduh, tak pernah menyangka Rani berani menulis seperti itu. Dan dengan rasa takut yang sangat dalam, akhirnya Rani jatuh pingsan. Bu Susan terdiam, masih mencerna dari tulisan yang Rani buat. Bu Susan tertunduk diam di ruang kelas, sementara anak-anak ramai untuk membawa Rani ke rumah sakit.

Setelah hampir dua jam di rumah sakit, Rani baru menyadarkan diri. Pandangannya masih belum jelas, nafasnya terengah-engah dan badannya juga masih lemas. Tetapi dia tidak mau dirawat di rumah sakit, dia tidak mau merepotkan orang tua dan adiknya. Meskipun, semua biaya perawatan dijamin oleh pihak sekolah. Rani masih tetap bersikeras ingin pulang, akhirnya pun Rani diizinkan untuk beristirahat di rumah, dan masuk sekolah setelah benar-benar sembuh.

##

Esok pagi di sekolah, murid-murid sudah berkumpul di lapangan. Mereka tidak akan berolah raga, tidak juga untuk upacara, tapi anak-anak kelas III sebagian berkumpul di lapangan. Terlihat Silvi bermuka pucat, bermuram durja, bibirnya tak sanggup berkata-kata lagi. Semua yang berkumpul di lapangan terlihat sedih. Bu Susan yang hendak mengajar di kelas II, menghampiri mereka.

"Selamat pagi anak-anakku..." sapa bu Susan dengan penuh semangat. Suaranya kini terdengar lebih lembut. Bahkan memanggil "anak-anak" ada tambahan "ku" di belakang kata itu.

"Pagi juga bu Susan.." jawab serentak para murid.

"Ada apa dengan kalian? Kenapa kalian berkumpul di lapangan seperti ini? Apa kelas III tidak ada pelajaran?" bu Susan sedikit was-was, takut mereka berkumpul untuk mendemonya agar tidak mengajar lagi di sekolah ini.

"Kita semua mau ke rumah Rani." jawab Dion.

"Rani.? Kalian mau menjenguknya?" tanya bu Susan.

"Iya bu.."

"Ibu tidak ingin menjenguknya?" tiba-tiba Silvi berbicara. Kalimat itu membuat hati bu Susan bergetar. Mungkin dia merasa bersalah.

"Kapan kalian ke sana? Ibu ikut dengan kalian." kalimat yang keluar dari bibir cantik bu Susan, membuat semua murid tercengang. Mereka seperti salah dengar.

"Sebentar lagi bu, kami sedang menunggu bu Niken dan Bapak Kepala Sekolah." jawab Silvi.

Bu Susan akhirnya ikut dengan rombongan anak-anak. Selama perjalanan, bu Susan terdiam, mencoba menebak separah apa sakitnya Rani, karena semua yang ikut dalam rombongan ini tertunduk lesu. Kurang dari 30 menit akhirnya sampailah di rumah Rani yang berada di pesisir pantai.

Sudah terlihat ramai di rumah itu, bu Niken dan lainnya mempercepat langkahnya menuju rumah Rani. Ternyata di dalam rumah, terlihat begitu sunyi, aura dingin menyelimutinya. Haru biru, isak tangis yang tercengkam memuai di rumah Rani. Bu Susan pun memecah kebisuan dalam ruangan itu. Dia mencoba berkata, tapi bibirnya bergetar, air matanya pun tak bisa dibendung lagi.

"Ti..ti-dak mung-kin Raa..ni meningalkan kita begitu cepat.." bu Susan berlari menuju jenazah Rani, dia membuka kain penutup pada wajah Rani. Bu Susan masih belum bisa percaya kalau Rani sudah meninggal.

"Raniiii....!! Maafkan ibu nak,,, banguuun... Maafkan ibu..." bu Susan menangis histeris. Tapi semuanya sudah terlambat, nasi sudah menjadi bubur. Bu Susan menangis hingga air matanya kering pun, Rani tak bisa kembali ke dunia lagi. Dia sudah menghadap Sang Khalik.

Bu Niken dan murid lainnya mencoba menenangkan bu Susan. Bu Susan benar-benar merasa bersalah. Andai saja hari itu dia tak mendapat tugas bahasa Inggris, pastilah Rani masih ada. Kalimat itu bermunculan dalam benak bu Susan.

"Maafkan saya pak, bu.. Saya lah orang yang paling bersalah terhadap Rani. Saya yang menyebabkan Rani pergi meninggalkan kita." ungkap bu Susan.

"Tidak bu, tidak ada yang perlu disalahkan. Ini sudah menjadi kehendak yang Kuasa." jawab bapak Rani.

"Maaf, kalau boleh saya tahu, Rani meninggal karena sakit apa?" tanya bu Susan lagi.

"Sejak lahir, dia memang sudah terkena kanker paru-paru." jawab ibunda Rani dengan penuh derai air mata.

Bu Susan juga belum berhenti menitihkan air mata. Dia mendapat pukulan yang pelak setelah tahu Rani mengidap kanker paru-paru. Padahal Ayah bu Susan seorang dokter spesialis paru-paru. Rasa salah dan iba mengalir ke dalam jiwa bu Susan. Dia berjanji pada dirinya sendiri, dia akan menjadi guru yang baik untuk semua murid.

Dari meninggalnya Rani, bu Susan mampu mengambil hikmahnya. Sekarang dia menjadi guru yang baik untuk semua murid. Dia mengajar dengan hati dan perasaan ikhlas. Tak hanya itu, dia juga membuka les English gratis bagi siapa saja di rumahnya setiap hari Jum'at dan Sabtu. Kini, para murid dan guru, bahkan Kepala Sekolah menyukai bu Susan. Bukan lagi  
"English is the best, but Teacher is the beast" melainkan "ENGLISH AND TEACHER IS THE BEST"



Eri Udiyawati
Eri Udiyawati Hallo, saya Eri Udiyawati. Seorang Perempuan yang suka menulis dan traveling. Blogger asal Purbalingga, Jawa Tengah. Suka menulis berbagai topik atau bahkan mereview produk. Email : eri.udiyawati@gmail.com | Instagram: @eryudya | Twitter: @EryUdya

Post a Comment for "English Is The Best, Teacher Is The Beast"