Skip to content Skip to sidebar Skip to footer

Malam Seribu Bulan

Masih dalam nuansa Islami. Ini cerita pernah untuk diikutkan event menulis pada saat bulan Ramadhan, tetapi tidak lolos, hehehehe...

Oleh : Ery Udya 

Setiap orang menginginkan hidup yang layak dan nyaman. Setiap orang ingin mendapatkan perlindungan, perlakuan baik, dan status sosial yang baik. Tak terkecuali dengan Narti, wanita yang sudah berusia lima puluh satu tahun. Seorang janda, karena suaminya telah meninggal akibat kecelakaan lalu lintas empat tahun lalu. Memiliki tiga orang anak, yang pertama sudah berusia dua puluh tujuh tahun, yang kedua berusia lima belas tahun dan yang terakhir berusia tujuh tahun. Anak yang pertama sudah lama tidak kembali, mungkin dia merasa malu dengan kondisi keluarganya yang begitu serba kekurangan dan jauh dari cukup.


Untuk menghidupi keluarga dan membiayai anak-anaknya sekolah, sehari-hari Narti bekerja sebagai buruh di Home Industri Souvenir, seperti bross, gantungan kunci, boneka mini, dan lainnya. Karena Narti tidak memiliki keahlian dalam pembuatan souvenir dia hanya bekerja untuk membungkus souvenir ke dalam plastik. Upah per sepuluh bungkus souvenir hanya lima ratus rupiah. Bisa dibayangkan bukan, seharian bekerja Narti paling banyak mendapatkan uang paling besar dua puluh ribu rupiah.

Meski dalam keadaan yang sangat sederhana, Narti tetap tabah, ia selalu percaya bahwa Allah selalu memberikan nikmat kepada umatnya. Allah selalu mendengar dan melihat pada setiap diri manusia.

Di bulan Ramadhan ini, Narti bekerja sangat giat. Selain kerja di home industri, setiap selesai shalat subuh, Narti menjajakan sayur-sayur di pasar. Dia memanfaatkan lahan yang sempit di samping rumah untuk ditanami sayuran seperti bayam, singkong, dan kangkung. Narti bertekad, lebaran tahun ini harus membelikan baju untuk anak-anaknya. Anak-anaknya sudah lama tidak dibelikan baju, entah terakhir kapan mereka membeli baju saat suaminya masih hidup.

Dan di malam lailatul qadar ini, Narti bermunajat dengan Allah di mushola dekat dengan pondoknya. Dia percaya, setiap manusia yang diridhoi oleh Allah dan beramalan baik, pasti akan mendapatkan malam seribu bulan.

Narti memanjatkan do’a, “Ya Allah, Ya Tuhanku. Terimalah rasa syukur dari hamba-Mu yang lemah ini. Karena sesungguhnya kekuasan adalah milik-Mu, Ya Allah. Hamba pasrah dengan semua ketatapan takdir yang Engkau berikan kepada hamba. Hamba tidak meminta agar cobaan ini hilang, tapi hamba memohon pada-Mu Ya Allah, kuatkan lah hati dan iman hamba-Mu ini agar tetap tabah dan tawakal untuk mengahadapi semuanya. Di malam yang suci ini, hamba memohon kepada Mu Ya Allah, berikanlah keberkahan dalam hidup hamba. Berikanlah kebaikan untuk anak-anak hamba. Bahagiakanlah mereka, jangan biarkan mereka mendapat cobaan yang berat seperti hamba ini. Cukuplah hamba yang menerima cobaan ini. Hamba ikhlas, karena sesungguhnya Engkau berkuasa atas segala yang ada di semesta ini. Amiin.. Ya Rabbal’alamiin..”

Air mata kesedihan mengalir deras di pipi Narti. Tak pernah dia menangis di depan siapa pun, tetapi ketika dia menangis ketika dia curhat dengan Sang Khalik. Dia mengluarkan semua isi hatinya kepada pencipta alam. Dia menyerahkan dirinya kepada Tuhan Penguasa Alam.
Di malam bulan puasa ke 21, 23, 25 dan 27. Narti selalu lebih mendekatkan diri dengan Allah. Dia yakin, malam-malam itu adalah malam lailatul qadar yang ditunggu-tunggu kebaiknnya oleh setiap umat muslim tak terkecuali dirinya.


Dia berharap, semoga ada kebaikan yang menerpa dirinya. Meringankan beban hidupnya yang kian hari kian mencekik. Beban hidup yang tak pernah kunjung usai merantai, membelenggu dan mengikatnya dalam keterpurukan dan tersungkur ke lembah kesedihan.

Air matanya memang tak pernah dilihat oleh kedua anaknya. Tetapi batinnya bagai teriris sembilu, begitu perih hingga sulit untuk diobati. Semua penderitaan ia telan sendiri dan hanya Allah yang tahu apa yang ada di dalam hati setiap umatnya.

Hari lebaran kian mendekat, Narti masih bingung, uang yang dikumpulkannya baru cukup untuk membeli baju satu stel.

Assalmu’alaikum..” sapa orang di luar rumah Narti.
Wa’alaikumsalam.” Jawab Narti. Narti segera keluar rumah menengok siapa yang datang. Namun, Narti juga tidak tahu siapa yang datang, ini orang pertama yang dia lihat.
Maaf, dengan Ibu Narti?” tanya orang tersebut dengan mengulurkan tangan untuk berjabat tangan. Narti berjabat tangan dan hanya mengangguk, dia masih bingung siapa yang datang ke gubuknya itu.
Maaf, bu, saya Rifki, kebetulan saya sedang mengambil air di sungai belakang rumah ibu karena air radiator mobil saya kurang.” Jelasnya.
Oh,, iya.” Narti masih bingung apa maksud orang ini datang menghampiri gubuknya.
Tadi saya sudah bertemu dengan anak ibu yang kecil di kebun sedang memetik daun kangkung, jadi saya teruskan mampir ke sini. Hmm, begini bu, bukan maksud apa-apa. Ini ada sedikit rezeki yang bisa digunakan untuk keperluan sehari-hari.” Ucap Rifki dengan memberikan sebuah amplop yang berisi uang. Tak tertahankan air mata Narti berlinang, dia sangat bersyukur, bahwa Allah telah menjawab semua do’a-do’anya.
Terima kasih, terima kasih sekali.”
Iya, sama-sama bu. Kalau begitu saya permisi dulu.”
Iya, silakan, sekali lagi saya sangat berterima kasih, semoga perjalanan Rifki lancar.”


Rifki segera kembali ke mobil dan melanjutkan perjalanan panjang menuju kampungnya yang masih jauh.
Narti sangat bersyukur, akhirnya dia bisa mebelikan baju lebaran untuk kedua anaknya. Selain itu, dia juga bisa membuat ketupat dan masak daging di hari raya. Narti semakin tawakal, bahwa memang benar kuasa Allah, lebih besar dari apa pun di dunia ini. Ketika Allah berkehendak, maka terjadilah. Narti sangat percaya akan hal itu.

***TAMAT***
Eri Udiyawati
Eri Udiyawati Hallo, saya Eri Udiyawati. Seorang Perempuan yang suka menulis dan traveling. Blogger asal Purbalingga, Jawa Tengah. Suka menulis berbagai topik atau bahkan mereview produk. Email : eri.udiyawati@gmail.com | Instagram: @eryudya | Twitter: @EryUdya

Post a Comment for "Malam Seribu Bulan"