Wafatnya Penggelora Perang Jawa
8 Januari 1855, Wafatnya Penggelora Perang Jawa
Pemberontakannya selama lima tahun di Jawa melahirkan tatanan baru.
Apakah Sang Pangeran Jawa itu seorang pemberontak atau pahlawan?
Pementasan wayang Dipanegara di Galeri Nasional, juni 2012. Salah satu
dalang terbesar dari Yogyakarta, Ki Ledjar Soebroto dan cucunya Ananto
Wicaksono menggunakan kekuatan wayang agar anak-anak tertarik mendalami
sejarah dan budaya Indonesia (Mahandis Y. THAMRIN/NGI).
Ruangan
penjara berdinding lengkung dan lembab di Bastion Bacan, sudut barat
daya Kastil Rotterdam di Makasar, telah bersaksi atas perjalanan seorang
Pangeran Jawa.
Penjara itu berpintu lengkung dua, satu pintu
setinggi orang dewasa, sedangkan lainnya berukuran separuhnya. Sebuah
dipan dari kayu jati berkaki bulat dipercaya warga Makasar sebagai
pembaringan terakhirnya. Selama 21 tahun, sang pangeran mendekam di
ruangan itu.
Nama kecilnya Bendoro Raden Mas Mustahar. Dia
lahir tatkala fajar menjelang di lingkungan Kraton Yogyakarta pada Jumat
Wage, 11 November 1785. Lahir dalam rahim seorang Ratu Kedaton
keturunan bangsawan Madura. Ayahnya merupakan anak sulung Sultan
Hamengkubuwono II. Kelak ayahnya melanjutkan tahta sebagai sultan
berikutnya di Yogyakarta.
Dalam penanggalan Jawa, kelahiran
seseorang yang bertepatan pada bulan Sura itu dianggap mempunyai makna
keramat. Pun, dalam primbon Jawa, hari itu merupakan penanda bahwa kelak
sang bayi mempunyai kata-kata yang berpengaruh, watak pandita, tetapi
menghadapi aneka halangan hidup lantaran sikapnya yang suka berterus
terang.
Tampaknya, kelahiran Mustahar yang kelak ketika dewasa
bernama Dipanegara itu telah ramalkan masyarakat sebagai seorang
pendobrak akhir tatanan lama di Jawa.
Kenyataan itu dipaparkan dalam
buku biografi tentang Dipanegara yang ditulis selama 30 tahun oleh
Peter Carey, sejarawan dari Oxford University, berjudul Kuasa Ramalan.
Keadaan akhir tatanan lama yang dimaksud adalah munculnya imperialisme
baru yang mempengaruhi kedaulatan keraton yang bermula sejak Daendels
bertugas pada abad ke-19 di Jawa.
Keraton tak lagi dipandang sebagai institusi berdaulat lantaran banyak nilai-nilai yang meluntur.
Betapa penguasa Eropa turut campur tangan dalam kehidupan istana dan
pemilihan raja, penyalahgunaan kekuasaan, aneka pajak yang mencekik
rakyat, hingga perselingkuhan putri-putri keraton dengan pejabat-pejabat
Eropa.
Perang Jawa yang mulai bergelora pada 19 Juli 1825
dicetuskan oleh Dipanegara atas memburuknya tatanan ekonomi dan sosial
masyarakat Jawa. Dia memberontak untuk merebut kekuasaan politik Sultan
Yogyakarta dengan tujuan memulihkan kebesaran Jawa dan menegakkan Islam
sebagai tatanan moral.
Perang ini berkonsep perang sabil atau perang suci melawan semua orang kafir dan orang asing di tanah Jawa.
Dalam pemberontakan ini, Dipanegara telah dipandang sebagai penyatu
kelas bangsawan dan rakyat jelata. Tentu, tidak semua bangsawan
mendukungnya lantaran pemberontakan ini merupakan kelanjutan perang
antar kelompok feodal pada masyarakat Jawa abad ke-19.
Menurut
Saleh As'ad Djamhari, seorang pengamat sejarah militer, untuk pertama
kalinya militer Belanda menghadapi sistem tempur militer Jawa yang
terorganisasi rapi.
Dipanegara mengadopsi struktur militer kerajaan Turki Osmani yang menjadi ideologi berbagai kerajaan Islam di Indonesia.
Perang Jawa merupakan awal diterapkannya strategi militer baru yang
unik dan berkaitan dengan aspek sosial, politik, sosial dan kultural.
Sebuah seni perang yang belum pernah diterapkan bagi kedua pihak dalam
perang kolonial manapun.
"Belanda kewalahan secara militer,"
ungkap Djamhari. "Sudah lelah". Dalam studinya, Djamhari telah
menghitung setidaknya terdapat 258 benteng yang dibangun Belanda dalam
waktu dua tahun untuk memadamkan kobaran Perang Jawa itu.
Pertahanan itu dikenal dengan istilah stelsel benteng (1827-1830) yang
merupakan segenap strategi dan aktivitas militer Belanda untuk membantu
sultan menumpas para pemberontak, sekaligus memusnahkan penghalang
ekspansi kolonialisme.
Tentang sebuah peristiwa di Karesidenan
Magelang pada 8 Maret 1830 yang mengakhiri perang Jawa, Djamhari
berkata, "Dipanegara tidak tertangkap, tetapi terperangkap. Itu istilah
sebenarnya".
Dia menambahkan bahwa Dipanegara mengunjungi
Hendrik Merkus De Kock untuk beraudiensi pada hari raya Idul Fitri.
Tidak ada perundingan. Namun, pihak Belanda sudah menyiapkan untuk
menangkapnya.
Perang itu memang telah menimbulkan penderitaan
dan keletihan luar biasa di kedua pihak. Sebanyak dua juta penduduk jawa
menderita akibat perang, seperempat seluruh luas pertanian rusak barat,
dan sekitar 200 ribu orang Jawa menjadi korban.
Sementara itu
dipihak Belanda menelan kegetiran : sejumlah 7.000 orang Indonesia yang
merupakan serdadu pembantu tewas bersama 8.000 serdadu Belanda.
Belakangan perang itu juga telah membangkrutkan kas pemerintah kolonial
sehingga untuk memulihkanya perlu penerapan Culturstelsel (Sejarawan
Indonesia menyebutkan dengan tanam paksa) di Jawa pada 1830-1870. Namun,
di daerah tanah Jawa tidak terjamah tanam paksa. "Belanda tidak
melakukan tanam paksa di daerah Vorstenlanden, ujar Djamhari. "Belanda
sudah kapok".
Demikianlah akhir perang Jawa. Setelah peristiwa
penjebakan di karesidenan Magelang, Dipanegara dan pengikutnya dibawa je
Fort Ontmoeting di Ungaran. Kemudian, mereka berlayar lewat pelabuhan
Semarang menuju Sunda Kelapa, Batavia. Setelah menjadi tahanan Balai
Kota Batavia, lalu menuju pengasingannya di Fort Amsterdam di Manado.
Pada 1834 dia dipindahkan ke Kastil Rotterdam di Makasar.
Perang itu juga telah melahirkan tatanan baru. Peter Carey dalam
bukunya menjelaskan, bahwa perang Jawa mengakhiri sistem ketika hubungan
Batavia dan kerajaan-kerajaan di Jawa masih bersifat diplomatik, menuju
ke tatanan baru masa kolonial kala kerajaan-kerajaan itu tunduk pada
kekuasaan Eropa.
Lalu, apakah Dipanegara ini seorang
pemberontak atau pahlawan? "Dia adalah pahlawan" ungkap Djamhari,
"karena pada dasarnya melawan Belanda". Sang Pangeran telah wafat 158
tahun lalu dalam derita kamar penjara sebagai orang yang paling
bertanggung jawab atas perang Jawa.
Namun, sebuah surat yang ditemukan dalam arsip H.M. de Kock telah mengutip pernyataan Panglima Perang Jawa itu.
Kutipan dalam bahasa Jawa yang patut kita renungkan itu bermakna :
"Jangan menjelekkan orang baik, dan jangan membaikkan orang jahat, dan jangan aniaya terhadap orang banyak".
Post a Comment for "Wafatnya Penggelora Perang Jawa"
Terima kasih telah membaca postingan pada blog saya. Silakan tinggalkan komentar, dimohon jangan menggunakan link hidup.
Terima kasih.
:) :)