Skip to content Skip to sidebar Skip to footer

'Yowis Ben', Film Bagus yang Penuh Hujatan

Film Yowis ben
“Jadilah orang Jawa yang Njawani”

Bukan maksud mau rasis terhadap suku atau pun ras lain, tapi kali ini saya ingin membahas sedikit tentang Jawa. Yang di mana saya dari lahir hingga sekarang hidup di tengah-tengah orang-orang Jawa, dengan berbagai macam dialek bahasa, adat istiadat, agama dan lainnya. Sebagai orang Jawa, khususnya ngapak (dialek khas bahasa Jawa Karesidenan Banyumas); saya ikut senang ketika ada sebuah karya dengan menggunakan bahasa Jawa, entah itu film, puisi, cerkak (cerita pendek dengan bahasa Jawa) atau pun lainnya. Yaa, maklum, ikut bangga gitu, meskipun saya juga pakai bahasanya campur aduk enggak karuan. Ngeblog aja pakai bahasa Indonesia agar pembaca dan temen-temen mudah memahaminya. Kalau saya ngeblog pakai bahasa Jawa, apalagi dialek ngapak, mungkin saya belum pede dan belum sejembar hatinya Bayu Skak yang tetap nerimo meskipun dijelek-jelekan. Wah, sungguh manusia yang sangat songong saya ini. Lain halnya dengan para creator film local, seperti CLC Purbalingga yang dari tahun ke tahun selalu membuat karya dengan bahasa Jawa ngapak.

Film yang berbahasa Jawa tersebut juga sering masuk nominasi Festival Film Indonesia. Sebut saja film-film pendek karya anak-anak SMA/SMK di Purbalingga yang berjudul ‘Babaran’ yang artinya ‘Lahiran’, kemudian ‘Lintah Darat’ dan ‘Nyathil’ yang artinya ‘Mengambil Milik Orang Tanpa Permisi, seperti Mencuri tapi sedikit demi sedikit’. Ketiga film tersebut merupakan film yang menggunakan bahasa daerah dan mendapatkan prestasi yang mentereng.

Lalu, apa salahnya Bayu Skak alias Moekito membuat film dengan bahasa Jawa? Kok ya pada protes gitu, bahkan ada banyak netizen yang menghujat filmnya itu? Kadang saya jadi heran dan bertanya-tanya sendiri, apa salahnya Bayu Skak dalam pembuatan film tersebut? Karena menggunakan bahasa Jawa jadi enggak layak tayang gitu? Terus kenapa menganggap bahasa Jawa itu kayak bahasa pembantu? Apakah sependek itu pemikiran netizen zaman now? Atau mungkin sudah terlalu kebanyakan nonton sinetron yang pemeran pembantu dimainkan oleh orang yang berlogat bahasa Jawa? Nek ngunu kui, berarti pikiran para netizen saiki sing kudu didandani (Kalau begitu, berarti pikiran para netizen sekarang yang harus dibenerin).

Aku wong jowo yowis ben

Rasanya enggak fair ya, sampai segitunya dalam menghujat. Toh film ‘Yowis Ben’ ini menggunakan translate / terjemahan ke bahasa Indonesia. Kecuali film ini tidak ada terjemahannya, bisa-bisa koleng nonton film tersebut karena enggak tahu maksudnya. Dan menurut saya film ini sah-sah saja, sudah betul juga ada terjemahannya, kayak film luar negeri gitu, pakai bahasa asing, pasti ada terjemahannya.

Sebetulnya juga patut diacungi jempol dan diapresiasi lebih, pasalnya film produksi Indonesia jarang yang menggunakan bahasa lokal. Malah makin ke sini film-film sekarang menggunakan bahasa asing meskipun itu produk Indonesia. Harusnya yang diprotes itu ya? Film Indonesia kok pakai bahasa asing? Ya kali, syutingnya kan di luar negeri, masa mau pakai bahasa Indonesia. Duh duh, saya jadi ngelantur.


Kembali ke ‘Yowis Ben’, film yang bertajuk komedi ini meskipun mendapatkan protes yang embuh dari sebagian netizen, nyatanya Bayu Skak mampu membuktikan bahwa film ini layak ditonton. Selain itu, dia juga membuat konfirmasi lewat video di Youtube yang berjudul ‘Aku Wong Jowo’. Dalam video tersebut, Bayu Skak menjelaskan bahwa sebagai orang Jawa enggak terima dong, kalau terus-terusan diremehkan. Kalau menghina hanya kepada dirinya sendiri yang jelek, bodoh atau apa; dia masih terima. Tapi kalau sudah mengecap ‘Orang Jawa’ dia enggak bisa tinggal diam, karena itu sama saja melecehkan semua orang Jawa. Dan hal itu membuat dia sangat perihatin atas kejadian teresebut. Padahal orang Jawa itu juga memiliki karya dan kecerdasan yang enggak kalah dari lainnya.

Saya yang nonton video tersebut, yang saat ini sudah disaksikan lebih dari satu juta, sungguh terharu. Saya jadi ikut merasakan bagaimana perjuangannya dia membuat film tersebut, ditolak sana sini dan diremehkan karena naskah film ‘Yowis Ben’ Sembilan puluh persen menggunakan bahasa Jawa. Banyak produser yang menolaknya. Namun, dia tidak gentar, tetap semangat untuk memperjuangkan karyanya. Dan jerih payahnya itu kita patut tiru, kita patut contoh, bahwa untuk menuju kesuksesan dan pencapaian itu bukanlah mudah, melainkan penuh perjuangan, tangis dan sering kali mati rasa. Tapi apa pun itu, semangat dan doa harus tetap ada di dalam jiwa, agar langkah kita tak terasa lelah, meski sebenarnya, kadang raga ini ingin menyerah,tapi tetap jiwa terus berkobar untuk maju.

Selain itu, tujuan dia menggunakan bahasa Jawa di chanel Youtube dan filmnya, sangatlah mulia. Dia ingin melestarikan bahasa yang sekarang sudah jarang dipakai karena moderenisasi. Dia ingin agar kita, khususnya orang Jawa, enggak lupa siapa diri kita sebenarnya. Bahwa kita lahir di bumi Jawa, sehingga tidak boleh bertindak ibarat kacang lupa sama kulitnya. Siapa sih kita, dari mana kita, asal kita, meskipun kita sudah hidup dengan penuh moderenisasi bahkan apa-apa serba digital. Namun, hal yang sangat penting, yakni jati diri dan asal muasal kita, janganlah dilupakan.

Fine, saya setuju banget dengan hal itu, sejauh-jauhnya dan sehebat-hebatnya kita, jangan melupakan jati diri kita sebenarnya. Kalau tidak mampu memperbaiki untuk tetap lestari, setidaknya jangan mengolok-olok atau menghujat. Jadi ingat kata teman, kalau enggak bisa berbicara baik tentang seseorang/beberapa orang atau sesuatu, ya sudah, diam saja, enggak perlu berbicara keburukannya apalagi sampai ngelek-ngeleki.
aku wong jowo yowis ben

Ya begitulah, film ‘Yowis Ben’ juga sangat seru untuk ditonton, karena filmnya kocak namun tetap ada pesan moral yang mendalam. Dan film ini juga mampu mengajak kita yang nonton untuk bangga dalam berbahasa daerah. Bukan hanya bahasa Jawa saja, namun bahasa daerah yang lain, sudah selayaknya setiap orang di masing-masing daerah melestarikannya. Kalau bukan kita yang menjaganya, siapa lagi? Nanti kalau ada bahasa daerah yang tiba-tiba diakui oleh negera antah berantah mana, kitanya enggak terima, tapi untuk menjaganya untuk tetap ada, kita enggak mau. Karepe pie to? Podo ae mangan enak aben dina tapi moh kerja. Kui jenenge nggapleki tenan.

Dan menurut saya, film ini juga luar biasa, bagus banget. Memberikan warna tersendiri bagi dunia perfilman di tanah air. Kan sangat langka gitu, film yang menggunakan dialek daerah namun mengangkat tema kekinian? Jadi, kalau bosan mau ngapain, segera datang ke bioskop terus nonton ‘Yowis Ben'.

Terus kalau masih ada yang menghujat film ini, tanyakan ke hati diri sendiri, apa sudah memiliki karya yang bagus atau belum? Ingat, sebaiknya kita saling mendukung untuk karya anak negeri. Dan saya pribadi, kalau ada anak negeri lain, entah suku dari mana, pasti saya dukung dan memberi nilai positif, salah satunya nonton atau beli produk karya anak negeri. Ya, cintai produk kita juga. Seperti semboyan di daerah kami, Bela Beli Produk Purbalingga. Jadi, kami warga Purbalingga, sudah sepantasnya untuk saling mendukung dan membeli produk-produknya, biar UMKMnya tetap berjalan dan maju, gituu…

Ya sudah, saya sudah ngelantur sampai ribuan kata. Saya akhiri tentang film menggunakan bahasa Jawa ini, takuntya kalau saya nulis terus kebablas membahasa lainnya segala. Hehehe...

Matursuwun sampun maos :)
Eri Udiyawati
Eri Udiyawati Hallo, saya Eri Udiyawati. Seorang Perempuan yang suka menulis dan traveling. Blogger asal Purbalingga, Jawa Tengah. Suka menulis berbagai topik atau bahkan mereview produk. Email : eri.udiyawati@gmail.com | Instagram: @eryudya | Twitter: @EryUdya

13 comments for "'Yowis Ben', Film Bagus yang Penuh Hujatan"

  1. wah malah abru tahu saya kalau ada film berbahasa jawa

    ReplyDelete
  2. aku udah nonton cuplikannya mba di IG meski ga ngerti tapi kocak kayaknya hehehe...film dengan bahasa daerah emang jarang2 pdahal patut diapresiasi nih y mba biar kita juga ga sok-sokan gaul mulu pake bahasa indo campur bahasa gaul kekinian tapi sebisa mungkin tetap pake bahasa daerah :)

    ReplyDelete
    Replies
    1. iya, Mbak Herva, sebenarnya menginspirasi juga ya.. karena bisa tuh daerah lain buat film dengan bahasa lokalnya

      Delete
  3. ternyata filmnya full pakai bahasa jawa, ya. kreatif sih yang bikinnya

    ReplyDelete
    Replies
    1. iya.. 90% pakai bahasa Jawa. Sisanya pakai bahasa Indonesia kalau ngobrol di instansi atau sama guru-guru di sekolah

      Delete
  4. Buru2 nonton ah. Aku udh tau dr kemarin sih film ini, tp blm sempat buka yutub😂

    ReplyDelete
  5. Saya tuh ngakah doang pas pada ngehujat. Pemikiran saya sih gini, jadi mereka ngehujat karna pengen nonton tapi ga mudheng bahasanya gitu? Wkwk
    Mereka yg ngehujat kayaknya kurang jauh mainnya, namanya film berbahasa daerah, kalau dirilis skala nasional kan emang biasanya ada terjemahan to

    ReplyDelete
    Replies
    1. hahaha iya, lagian kan ada terjemahannya, tapi entah kenapa ada aja yang protes, hihihi

      Delete
  6. Yang meributkan itu tentu belum pernah dengar dan kurang wawasan, kalau sebelumnya di tahun lalu atau 2 tahun yang lalu mungkin, ada film "Uang Panai" yang 100% menggunakan bahasa Bugis Makassar. Film ini sukses banget dan sampai masuk film daerah terbaik. Saya pun nonton, walau bukan orang Bugis. Film Yowis Ben ini saya kurang update, haha... Kalau masih ada pun tentu akan saya tonton karena memang penyuka budaya dari daerah mananpun.

    ReplyDelete
    Replies
    1. Hehehe iya, saya pun begitu, selalu bangga dan salut kalau ada karya anak bangsa yg mengusung daerahnya. :)

      Delete
  7. Gak sempat nonton ih, padahal ada Bayu, pasti lucu nih film. Cuma bisa baca review man teman aja deh. :")

    ReplyDelete