Skip to content Skip to sidebar Skip to footer

Cinta Yang Tak Sempurna #Part - 3


Cinta yang tak sempurna part 3

Ferdy sibuk mencari rumah atau tempat tinggal di daerah Tebet. Dia sudah merasa sangat peduli terhadap Vina. Dan dia juga tak menceritakan hal ini kepada Anton. Karena Ferdy yakin jika Anton tahu kalau Vina akan pindah ke Jakarta, semuanya pasti akan berantakan.Akhirnya Ferdy pun mendapat rumah sewa di daerah Tebet, pemilik rumah itu bernama Ibu Murtiasih, dia seorang janda dan tinggal sebatang kara. Suaminya meninggal dunia sejak dua puluh tahun yang lalu karena kecelakaan. Ibu Murtiasih tidak mempunyai seorang anak, sehingga ia hidup sendirian. Dia mempertahankan cinta kepada suaminya sehingga ia tak menikah lagi.

Ferdy langsung menyewa rumah itu selama satu tahun untuk Vina. "Pasti Vina suka dengan rumah ini," ungkap Ferdy dalam hatinya. Ferdy sangat yakin Vina akan suka rumah ini karena halamannya luas dan dijadikan sebagai taman bunga. Taman bunga ini digunakan sebagai biaya hidup Ibu Murtiasih, dia menjual bunga kepada orang yang akan mengadakan pesta atau seorang kekasih yang akan memberi hadiah bunga yang cantik untuk pujaan hati. Ibu Murtiasih sangat senang karena ada yang mau menyewa rumahnya, paling tidak nanti ada yang bisa diajak ngobrol oleh Ibu Murtiasih. Rumah yang disewakan dan rumah pribadinya berjejer dan satu halaman taman bunga.

"Terima kasih ya, Mas, untuk menyewa rumah saya. Kira-kira kapan rumah ini akan ditempati biar saya bersihkan." Tanya Ibu Murtiasih ke Ferdy.

"Kalau pastinya saya kurang tahu, nanti saya akan menelpon dia, karena yang akan tinggal disini teman saya dari Makassar." Jelas Ferdy ke Ibu Murtiasih.

"Ohh... begitu, ya sudah tidak apa-apa, mudah-mudahan teman Mas nanti betah di sini. Di sini rumahnya kecil."

"Itu tidak masalah, Bu, saya yakin dia senang tinggal di sini."

"Syukurlah..."

"Baik, Bu, saya permisi dulu ya, nanti kalau saya sudah ada kabar dari teman saya, saya kan menghubungi ibu. Boleh saya minta nomor telepon ibu?"

"Oh ya, tentu boleh, tunggu sebentar." Ibu Murtiasih beranjak mengambil secarik kertas untuk menulis nomor telepon rumahnya, kemudian dia memberikan ke Ferdy. Setelah itu Ferdy beranjak pergi dari rumah Ibu Murtiasih, dia langsung meluncurkan mobilnya ke rumah Anton. Ferdy hampir lupa kalau hari ini dia ada janji dengan Anton untuk membantu pesiapan resepsi pernikahan Anton yang hanya dalam waktu seminggu. Yang sedang dipikirkan oleh Ferdy pun menelponnya.

"Halo, Nton, aku lagi di jalan sedang menuju ke rumah kamu." 

"Dari mana saja? Udah siang gini lum kelihatan." Balas Anton dengan sedikit ketus.

"Aku dari rumah teman, ada tawaran buat program keuangan." Ferdy berbohong ke Anton.

"Ya sudah, buruan, aku tunggu di rumah."

"Oke...!"

Sesampainya di rumah Anton, Ferdy langsung sibuk mencari nomor telepon hotel untuk dibooking sebagai acara resepsi pernikahan Anton dengan Callisa. 

"Gimana, Fer? Udah dapat tempatnya?" Tanya Anton dengan santai.

"Lum Nton, semua full booked, kau ada teman atau relasi yang bekerja di hotel atau pemilik hotel, biar nanti aku hubungi?" Jawab Ferdy sambil memegang ponsel untuk menghubugi hotel

"Tak ada." Jawab Anton singkat.

"Lah terus? Kalau gak dapat, mau resepsi di mana?" Ferdy mulai kesal.

"Di kolong jembatan juga bisa, di Jakarta ini kan banyak kolong jembatan." Ceplos Anton dengan datar. Dia belum sepenuhnya ingin menikah, bahkan lebih menginginkan untuk gagal menikah.

"Whaaat...?! Heh... yang mau menikah itu dirimu, tapi kenapa masih bersantai-santai gini?" Ferdy kian emosi dengan sikap Anton yang begitu apatis akan hal ini.

"Apakah seorang yang akan menikah itu harus sibuk kesana kesini, bolak-balik booking tempat, booking ini dan itu? Ah.. sudahlah semuanya aku serahkan padamu, mau menikah dimana dengan siapa, aku sudah tidak peduli lagi." Ucapan Anton yang penuh emosi membuat Ferdy menyadari, bahwa sebenarnya Anton masih mencintai Vina. Ferdy pun hanya mengela nafasnya.

"Okelah, akan aku cari hotel di daerah Jakarta ini, mungkin masih banyak yang free."

"Dan kau menginginkan konsep seperti apa, dengan biaya berapa?" Lanjut Ferdy.

"Terserah mau konsep seperti apapun, aku terima beres, untuk biaya pun terserah." Anton tak peduli lagi.

"Baiklah." Hanya kata itu yang keluar dari mulut Ferdy.

"Oke, aku pergi dulu." 

"Mau kemana?"

"Entahlah..."

Anton meluncurkan mobilnya dengan kecepatan maksimal, dia ingin menjauh dari semua orang untuk sejenak. Rasa, pikiran dan hatinya masih tak menentu. Dan dia menghentikan mobilnya di sebuah pantai kecil di utara Jakarta. Dia mencoba menikmati senja yang akan beranjak, melihat matahari terbenam, tiba-tiba dia teringat dengan Vina, teringat saat berdua menikmati indahnya kebersamaan mereka di Makassar. Anton mengambil ponselnya, ternyata sampai saat ini dia masih menyimpan foto-foto Vina. Dia memandanginya terus, dan tak terasa air matanya pun menetes.

"Maafkan aku, aku telah melukai hatimu. Aku sangat menyayangimu. Mungkin cerita cinta kita terlalu indah untuk diwujudkan menjadi nyata. Mungkin cinta kita hanya bisa untuk bisa dikenang. Sampai kapan pun aku selalu menyayangimu, itu pasti. Karena memang tak ada yang seperti dirimu. Kau lain dari yang lain. Kau terindah yang pernah kutemui dalam hidupku. Dan mungkin kau terlalu indah bagiku, sehingga kita terpisah. Aku akan selalu berdoa untuk kebahagiaanmu, aku yakin kau pasti bisa mendapatkan yang lebih baik dariku. Pasti kau bisa mengukir cinta yang indah dengan yang lain, meski sesungguhnya aku sangat berat untuk melepasmu. Bahkan, mungkin aku sendiri tak rela untuk kehilangan dirimu .... Jika bisa, aku ingin memohon kepada Tuhan, agar aku memiliki kesempatan kedua, untuk hidup denganmu, kapanpun itu, karena sesunguhnya aku sangat mencintaiku. Kau yang membuat aku bisa jatuh cinta, lebih dari rasa aku menyayangimu. Kau yang selalu memberiku semangat, kaulah yang seharusnya menjadi belahan jiwaku, bukan yang lain..." Anton ingin mengucapkan kalimat itu untuk Vina, tapi dia tak sanggup dia hanya mengucapkan di depan foto-fotonya.

Matahari telah kembali ke peraduan, senja telah berlalu, kini bergantikan malam dengan bintang-bintang yang bertabur di langit. Anton masih terpaku melihat ombak yang berkejaran. Dia tak ada niat untuk pulang ke rumah malam ini.

Dan malam yang indah itu digunakan oleh Ferdy untuk tidur dengan lelap, setelah seharian capek mondar-mandir. Dia butuh istirahat,  karena dia juga manusia biasa yang mempunya rasa lelah dan kantuk. Pada tengah malam dia terbangun, melihat HPnya ternyata ada pesan dari Vina, "Fer, aku berangkat ke Jakarta besok pagi."

Huuuft... Ferdy menghela nafas, "Untung saja aku dah sewa rumah." Ungkapnya sendiri. Ferdy ingin menelpon Vina, tapi hari sudah larut malam, takut mengganggu istirahatnya.

*****

Pagi yang sangat super sibuk bagi Ferdy. Hari ini dia banyak janji, menjemput Vina di Bandara, konfirmasi tempat resepsi pernikahan Anton sekaligus negosiasi untuk harga dengan pihak hotel. Belum lagi Sally, pacarnya, pagi-pagi sudah datang ke rumahnya.

"Sally...?" terkejut Ferdy saat dia hendak pergi ternyata di ambang pintu sudah ada Sally.

"Iya aku, lama kamu tak main ke rumahku, jadi aku ke sini." Ungkap Sally.

"Iya... aku tahu itu, maafkan aku, Sall, aku sangat sibuk." Jawab Ferdy untuk meyakinkan Sally.

"Termasuk hari inikah? Sibuk juga?" Tanya Sally dengan kecewa.

"Iya, Sayang, maafkan aku, aku sangat sibuk untuk mencari tempat resepsi pernikahan Anton. Mungkin kalau kau minta aku untuk mengantarmu kemana, sepertinya aku bisa, tapi aku tak bisa menemanimu hari ini." Dengan berat hati Ferdy membuat kecewa Sally.

"Baiklah, antarkan saja aku ke Mall, aku ingin belanja." Rencana Sally ingi pergi jalan-jalan, tapi ternyata Ferdy sibuk, jadi dia belanja untuk menghilangkan kekesalannya.

Setelah mengantar Sally ke Mall, Ferdy meluncur ke rumah Anton. Di sana sudah ramai orang-orang yang sedang mempersiapkan pernikahan Anton dengan Callisa.

"Nton... Nton.... di mana kamu?" Panggil Ferdy sambil menaiki tangga menuju kamar Anton.

"Nton... buka pintunya..." Tak terdengar suara apa pun dalam kamar Anton. Ferdy dengan ragu membuka pintu kamarnya, ternyata kosong tak ada siapapun. Ferdy segera turun menemui Mama Anton.

"Tante... tantee... " Panggil Ferdy yang sedikit teriak.

"Iya, Fer, ada apa? Kok kelihatan buru-buru seperti itu." tanya Mama Anton dengan Sabar.

"Anton kemana, Tante? Kok di kamar tidak ada." Ucapan Ferdy membuat kaget tantenya.

"Lho, Tante pikir semalam Anton tidak pulang tidur di rumah kamu."

Mendengar jawaban itu, pikiran Ferdy langsung pening, dia hanya berharap Anton tidak tahu kalau Vina akan sampai ke Jakarta hari ini, bahkan sebentar lagi pesawat yang ditumpangi Vina akan segera landing di bandara.

"Mmm... gini aja Tante, saya pergi mencari Anton. Dan kalau ternyata Anton pulang dulu sebelum saya bertemu dengannya, tolong sampaikan ke Anton, saya mau konfirmasih hotel di Tebet."

"Owh... terima kasih ya, Fer, untung ada kamu yang bisa membantu."

"Iya, Tante, kalau begitu saya permisi dulu."

Dengan pikiran yang kacau Ferdy pergi ke bandara untuk menjemput Vina. Dia berharap tidak terlambat datang untuk menjemput. Kacau sekali rasanya pagi ini. Emosi, kesal, dan pusing bercampur menjadi satu dalam diri Ferdy. Tak berapa lama kemudian, Ferdy sampapi di bandara, Vina sudah menunggunya.

"Hai ...." Ucap Vina

"Hai, Vin, gimana kabar kamu? Senang bertemu denganmu?" Jawab Ferdy sambil mengulurkan tangan untuk berjabat tangan.

"Baik, thanks ya, Fer, maaf aku dah ngerepotin kamu."

"Ah, tak begitu repot kok, tenang aja." Balasnya.

Dan Ferdy melanjutkan kata-katanya dalam hati, "Yang repot itu ngurusin pernikahan Anton."

Vina dan Ferdy segera meninggalkan bandara menuju rumah yang di Tebet. Ferdy juga lupa, dia belum memberi kabar kepda Ibu Murtiasih, kalau Vina akan datang hari ini. Mudah-mudahan Ibu Murtiasih di rumah, itulah harapan Ferdy. Sesamapai di rumah itu, Vina disambut dengan hangat oleh Ibu Murtiasih. Vina memang menyukai tempat ini. Rumah ini kecil, bersih dan indah, sejuk pula. Halaman yang penuh bunga menjadikan rasa kerasan Vina. Dan sudah terpancar dari raut wajahnya kalau dia akan suka tempat ini. Setelah Vina memasukan barang-barang bawaannya ke dalam kamar, Ferdy beranjak pamit. Ferdy harus mengurus booking membooking untuk Anton.

"Baiklah, sudah beres semua, kalau begitu aku pamit dulu." Ucap Ferdy.

"Buru-buru sekali, nyantai saja dulu, nanti Ibu buatkan kopi." Sahut Ibu Murtiasih.

"Maaf sekali, saya hari ini sedang banyak kerjaan, ini bos saya juga sudah mengirim pesan agar saya segera kembali ke kantor." Lagi-lagi Ferdy berbohong.

"Okelah Fer, maafkan aku ya, dah ngerepotin kamu, gara-gara aku, kerjaan kamu jadi berantkan." Ungkap Vina yang merasa bersalah.

"Gak apa-apa Vin, kamu tenang aja. Kerjaanku pasti beres. Aku pergi dulu ya, jaga dirimu baik-baik."

"Iya, sekali lagi thanks ya.."

"Bu,saya pamit dulu.."

Ferdy segera meninggalkan Vina dan bergegas mencari Anton terlebih dahulu. "Huufft... sialan kamu Nton, kamu yang mau nikah aku yang kelimpungan gini! Ah... dasar nyemot...!" Dengan kesal Ferdy memukul stir mobilnya ketika terjebak macet. Menelpon ke HPnya, ternyata HP Anton tak aktif, entah kemana dia berada, Ferdy tak tahu. Setelah kesal mencari Anton tak ketemu, jadi Ferdy berinisiaif untuk pergi ke Hotel.

"Selamat siang, Mbak.."  Ucap Ferdy kepada Resepsionis hotel.

"Siang juga pak, ada yang bisa saya bantu?" Balasnya.

"Gini mbak, apakah saya bisa bertemu dengan Ibu Lani? Saya ingin bertemu dengan beliau." Jelas Ferdy.

"Tunggu sebentar pak,,"

Resepsionis itu menghubungi Ibu Lani di ruagannya. "Halo, selamat siang, Ibu Lani, ada yang ingin bertemu dengan ibu."

"Baiklah, suruh ke ruangan saya saja."

"Baik bu, terima kasih."

Kemudian resepsionis itu memberitahukan Ferdy untuk masuk ke ruangan Ibu Lani. Ferdy bergegas menuju ruangan itu, Ferdy mengetuk pintu ruangan Ibu Lani.

"Silakan masuk." Jawab Ibu Lani.

Ferdy masuk dan berjabat tangan dengan Ibu Lani.

"Selamat siang, Ibu Lani."

"Selamat siang juga, Pak Ferdy, silakan duduk."

"Terima kasih, Bu,"

"Jadi bagaimana, Pak Ferdy?" Tanya Ibu Lani.

"Begini Bu, melanjutkan pembicaraan kita kemarin via telepon untuk booking hotel pada Sabtu minggu ini, apakah bisa?" Ferdy mulai bertanya.

"Untuk acara pernikahan ya..?"

"Iya, betul... untuk saudara saya, kebetulan dia sedang sibuk yang lainnya, jadi saya yang mengurus untuk membooking hotel." Jelasnya.

"Iya, baiklah, tetapi bagaimana dengan konsepnya?"

"Untuk konsep saya serahkan semuanya ke pihak hotel saja, yang penting acara hari Sabtu ini berjalan dengan lancar dan baik."

"Oke, akan kami persiapkan."

"Oke oke, kalau begitu saya permisi dulu."

"Baik, Pak, terima kasih sudah percaya dengan hotel kami."

Lega rasanya Ferdy, setelah negosiasi dengan pihak hotel, Ferdy segera pulang, dia butuh istirahat untuk hari ini. Urusan biaya resepsi pernikahan pasti bukan masalah bagi Anton, berapa pun pasti dia mau bayar. Baginya uang bukanlah masalah.

*****

Hari ini adalah hari pertama Vina bekerja di Hotel itu. Hotel yang telihat sekali sibuk, hilir mudik dan lalu lalang orang begitu ramai dan padat. Vina sedikit grogi, dan menghelas nafas panjang. Vina mendapatkan posisi yang cukup bagus di hotel itu, dia mejadi Asisten General Manager. Tak terasa hari begitu cepat berlalu, mungkin karena Vina sangat sibuk, sehingga waktu yang terasa begitu cepat. Pukul lima sore, Vina sedang mempersiapkan untuk pulang kerja, tiba-tiba sang Manager menghampirinya.

"Vina..." Panggilnya.

"Iya, Bu," Jawab Vina.

"Apa kau punya waktu sebentar sebelum pulang?" tanya ibu Manager.

"Iya, tentu saja ada, ada apa ya bu?" Vina sedikit penasaran.

"Ibu ada perlu dengan kamu sebentar, mari ikut Ibu."

"Baik, Bu.." Vina mengikuti managernya, ternyata Vina diajak ke Cafe. Mereka berdua ternyata mempunyai kesamaan, yaitu penikmat kopi.

"Vina, Ibu mengajakmu ke sini, karena ada sesuatu yang penting yang harus Ibu bicarakan dengan kamu, karena kamu asisten ibu, meskipun terhitung mulai hari ini."

Mendengar ucapannya, Vina hanya terdiam, namun matanya terbuka lebar, pikirannya menerka-nerka, ada apa ini?

"Hari ini, hari Senin, hari pertama kamu kerja, tapi hari Rabu, ibu harus tinggalkan kamu, karena ibu akan berangkat ke Seoul, Korea. Sedangkan di hotel ada proyek untuk hari Sabtu minggu ini. Resepsi pernikahan, tetapi konsepnya kita yang tentukan. Aku dengar dari bos kamu yang di Makassar, kamu bisa merancang sebuah konsep pernikahan. Apakah kamu bisa melakukannya dalam minggu ini, tapi sebelum hari Rabu konsep itu sudah ada di meja saya."

"Baik, Bu, saya usahakan." Jawabnya dengan senang hati.

"Aku harap besok pagi konsep itu sudah ada, karena hari Rabu ibu berangkat ke Korea."

"Kalau boleh tahu, bagaimana tipe orang yang akan menikah? Biar saya padukan dengan konsepnya."

"Orangnya sendiri pun ibu belum tahu, karena yang booking itu saudaranya, kabarnya orang yang akan menikah ini, orang yang sangat sibuk."

"Owh, baiklah, akan saya buatkan konsepnya."

"Oh ya, jika kamu ada kesulitan ketika ibu di Korea, jangan sungkan-sungkan untuk menghubungi ibu, ini nomor kantor dan nomor handphone Ibu." Ucapnya sambil memberikan kartu nama kepada Vina.

Vina berucap dalam hati, "Orang ini baik sekali. Beruntung sekali aku punya bos seperti Ibu Lani."

Matahari pun telah tenggelam, mereka berdua berkemas dari Cafe itu untuk segera pulang. Sepanjang jalan, Vina memikirkan konsep pernikahan itu. Seperti apa? Bagaimana? Orangnya pun tak tahu. Setelah istirahat sejenak, Vina kembali memikirkan konsep pernikahan itu. Orang yang sibuk dan hanya mau terima beres. Itu yang selalu ada dalam benak Vina. Berjam-jam dia di depan laptop tapi belum juga bisa menemukan yang cocok, yang ada terlalu mewah dan terlalu sederhana. Malam ini Vina lupa untuk makan malam, dia hanya menikmati kopi madu. Sedang menikmati kopi, HPnya berdering.

"Halo, Fer.." Ucap Vina

"Halo juga, Vin, gimana kabar? Bagaimana dengan kerja hari pertama?" tanya Ferdy.

"Kabar baik, dan kerjaku lancaaar... bagaimana denganmu?"

"Aku juga baik, dan maaf baru mengabarimu, hari ini sangat sibuk. Oh ya, kau sudah makan?" Aku ada beberapa makanan yang lezat nich..."

"Tepat sekali, dari tadi aku sibuk di depan laptop."

"Okelah, tunggu aku." Dan Ferdy pun memutuskan teleponnya.

"Nton. " Panggil Ferdy ke Anton.

"Iya, ada apa, Fer? Buru-buru amat kelihatannya." Balas Anton.

"Aku pergi dulu" Jawab Ferdy singkat sambil mengambil kontak mobilnya yang ada di meja.

"Mau kemana kau? Katanya mau tidur disini." Anton ingin tahu, tidak biasanya Ferdy bersikap aneh seperti ini.

"Aku mau mengantar makanan ke rumah teman, tadi dia menitip tapi aku lupa mampir ke rumahnya." Balasnya samabil menunjukkan apa yang Ferdy bawa.

"Okelah, tapi nanti kesini ya, selesaikan kerjaanmu."

"Siapa takut?!" Ferdy pun segera berlalu dari pandangan Anton.

Untung saja jalan di Jakarta sedang sepi sehingga Ferdy tidak perlu lama-lama di jalan untuk menuju rumah Vina. Sampai di rumah itu, ternyata Vina juga suda menyiapkan kopi madu untuk Ferdy. Dan Ferdy juga menyukai kopi itu.

"Kau mau minum kopi madu?" Tawar Vina ke Ferdy.

"Tentu saja, kenapa tidak?" Mereka berdua pun tersenyum.

"Dan kau bawa makanan apa untukku? Jujur saja aku sangat lapar, aku lupa makan malam ini, terlalu asyik dengan laptopku." Vina ingin tahu Ferdy membawa makan apa, apakah benar-benar lezat, atau hanya mie instan.

"Hmm... Bebek Panggang, kau suka?" Jawab Ferdy sambil menunjukkan apa yang dia bawa.

"Tentu saja aku suka, ayolah segera kita makan, rasanya tak sabar lagi ini peurtku."

"Hahaha." Mereka tertawa bersama.

Mereka berdua menikmati makan malamnya, tentu saja karena menunya juga sangat lezat. Makan malam yang indah, meski di hati Vina menginginkan Anton yang ada di hadapannya, bukan Ferdy. Dari sorot mata Vina, Ferdy menyadari akan hal itu, tapi Ferdy sendiri tak berani sedikitpun menyinggung tentang Anton. Ferdy mencoba mengalihkan pembicaraan agar Vina tidak teringat dengan Anton.

"Kenapa ini dicampur dengan madu?" Ferdy mulai berbicara lagi. Dan Vina pun tahu, Ferdy tak ingin membahas tentang Anton, meskipun Vina sangat ingin tahu kabar tentang Anton.

"Hmm .... Itu sebenarnya bukan seleraku. Aku lebih suka kopi kopi rasa original. Akan tetapi, kalau aku minum kopi lambungku tidak kuat, sehingga aku campur dengan madu, meski sebenernya aku tak begitu suka dengan madu." Jelas Vina.

"Kau suka kopi apa?"

"Entahlah, selama kopi itu tercium aroma yang menggoda, sepertinya aku suka." Papar Vina.

"Apa kau sudah pernah melihat pabrik kopi di Indonesia?" Ferdy mencoba meledek Vina agar dia tersenyum, karena raut wajah Vina masih tetap murung

"Haruskah aku mengunjungi pabrik kopi dari Sabang hingga Merauke? Sepertinya tidak mungkin, Fer, aku tak punya banyak waktu untuk hal itu. Andai saja bisa, mungkin aku sudah berpetualang untuk berwisata."

Ferdy hanya tersenyum mendengarnya.

"Dan apa kopi favoritmu?" Tanya Ferdy lagi, seperti sedang menginterogasi tawanan.

"Kenapa kau tanya terus? Aku merasa terinterogasi, kan tadi aku dah bilang, aku tak tahu kopi apa yang aku suka, selama aroma itu menggoda, sepertinya aku suka kopi itu."

Dan lagi-lagi Ferdy hanya tersenyum.

Waktu sudah cukup malam, Ferdy berpamitan pulang. Dan setelah Ferdy pulang, Vina kembali dengan pekerjaannya untuk membuat Konsep Resepsi Pernikahan. Dia mencoba mendesign sendiri dekorasinya, mencoba menuangkan ide-ide yang ada di dalam otaknya. Dan anehnya yang terpikirkan oleh Vina adalah Anton. Vina merancang konsepnya dengan berkonsentrasi tertuju kepada sifat Anton. Hanya ada ide itu yang ada di otaknya, diterima atau tidaknya konsep itu, urusan besok pagi dengan bosnya, yang penting malam ini selesai.

Esok pagi yang  cerah, Vina sudah di kantor. Matanya sedikit mengantuk karena tidur sudah jam tiga dini hari. Pagi ini juga Vina sudah berada di ruangan Bu Lani untuk menjelaskan konsep yang telah dirancangnya. Bu Lani merasa puas dan senang melihat rancangannya.

"Bagus, langsung kerjakan saja, ibu sangat setuju dengan konsep ini, tidak mewah tetapi elegan."

Vina merasa sangat bahagia atas pernyataan dari bosnya, dia pun tersenyum manis. :)

"Ibu sangat puas dengan konsep kamu ini Vin, pasti orangnya suka, dan besok ibu pergi ke Seoul dengan prasaan lega karena konsep ini sudah ada." Jelas Ibu Lani kepada Vina. Lagi-lagi Vina hanya tersenyum, dan dia pun berkata dalam hatinya, "Semoga saja ini adalah langkah awal karirku."

Ibu Lani juga memperkenalkan Vina dengan Pak Ryan, dia kepala bagian dekorasinya, sehingga nantinya Vina akan bisa bekerja sama untuk menyajikan konsep yang sempurna. Pak Ryan orangnya juga baik dan bersahabat, dia suka, membantu. Hasil dekorasinya dari tahun ke tahun juga sangat memuaskan klient-nya. Vina merasa senang bisa bekerja sama dengan orang-orang seperti Bu Lani dan Pak Ryan. Dan dengan kesibukan yang ada untuk dia, pastilah akan sedikit lupa tentang Anton. Kini hati dan pikirannya fokus untuk pekerjaan. Dan itulah yang diharapkan Vina, dia mempunyai kesibukan agar dia bisa melupakan Anton. 

*****

Hari Jumat sore, Callisa datang ke hotel yang telah dipesan oleh Ferdy, dia ingin melihat bagaimana konsep untuk pernikahan untuk esok harinya.

"Selamat siang, Mbak, maaf, bisa saya bertemu dengan Ibu Lani?" Ucap Callisa saat menemui resepsionis hotel.

"Oh, Ibu Lani sudah berangkat ke Seoul pada hari Rabu kemarin." Jelas resepsionis.

"Oh,, saya mau coba konfirmasi apakah sudah siap untuk acara pernikahan saya pada besok?" Tanya Callisa.

"Mbak yang membooking? Sepertinya sudah siap, untuk lebih jelasnya bisa ditanyakan ke asistennya Ibu Lani, yaitu Ibu Vina." 

"Bisa saya bertemu dengan Ibu Vina?"

"Tentu saja."

Callisa menuju ruangan Vina, dalam pikirannya ada yang mengganjal, "Vina" seperti tidak asing dengan nama itu, tapi Callisa mencoba tenang. Mencoba berkonsentrasi untuk besok di hari pentingnya.  Mereka berdua pun bertemu, terasa kaku dan canggung di antara keduanya, belum pernah saling mengenal, belum pernah ketemu sebelumnya, tapi kedua mata mereka saling bertatap, seperti ingin berbicara tapi tak tahu apa yang harus mereka bicarakan. Vina mencoba bersikap profesional untuk bekerja, dia dengan detail menjelaskan konsep pernikahan itu, bahkan dia mengajak Callisa untuk melihat sendiri, dan memang sangat elegan, Callisa menyukainya.  Tanpa pikir panjang Callisa langsung berpamitan untuk pulang, dan memberikan kartu nama kepada Vina, mana tahu ada sesuatu yang harus menghubungi Callisa. Setelah Callisa berlalu, Vina memperhatikan kartu nama itu, "Callisa Febrian" itu namanya. Vina hanya mengerutkan dahinya pergi ke ruangannya kembali.

Callisa Febrian, nama yang bagus dari keluarga ternama, yang merupakan sahabat dekat dari orang tua Anton Kurniawan. Callisa dan Anton sebenarnya sudah saling lama mengenal, karena mereka berdua dulu satu sekolah pada saat Sekolah Menengah Pertama. Tetapi saat menginjak dewasa Callisa melanjutkan sekolah di Australia, karena dia juga ikut orang tuanya yang menjalankan bisnis di Australia. Kini Callisa dan keluarganya sudah di tanah air selama enam bulan, merintis usaha baru di Jakarta. Dan tentunya orang tua Anton pun ikut andil, karena itu usaha bersama mereka.

Hari yang ditunggu datang juga, tamu undangan berjumlah dua ribu lima ratus datang secara bergantian. Vina masih berbincang-bincang dengan beberapa tamu yang kagum akan rancangan yang begitu bagus. Ketika suasana sudah mulai lenggang, Vina mencoba melangkah menuju kedua mempelai pengantin, untuk mengucapkan selamat. Dia sebagai perwakilan Bu Lani, merasa sangat puas dan bangga melihat apa yang ia berikan untuk orang lain, semuanya menyukainya. Langkah Vina pelan tapi pasti menuju pelaminan, semakin jelas dengan wajah sang pengantin. Ingin rasanya dia lari ke belakang dan tak jadi untuk mengucapkan selamat, hatinya kian tersayat. Vina semakin bingung apa yang harus ia lakukan, tak mungkin ia meneteskan air matanya di depan banyak orang seperti ini. Dia mencoba menguatkan hatinya, mencoba bersikap bijaksana, ini adalah tentang kerjanya, bukan tentang orang yang menikah. Mencoba tegar, mencoba tersenyum. Dengan tubuh yang sedikit bergemetar, dia mendekati kedua pengantin itu, semakin jelas dan semakin ingin menangis saja.

"...See-lamaat, atas pernikahanmu, semoga kau bahagia dengan pernikahan ini, aku senang mampu menghadiahkan sebuah konsep yang menawan untukmu." Ucap Vina ketika berjabat tangan dengan Anton, tangan mereka bergetar, mulutnya sudah kebiruan, seperti orang kedinginan. Anton tak bisa berkata apa pun, napasnya mencekat, suaranya pun tersendak di tenggorokan, begitu perih rasa hatinya. Mereka berdua saling bertatap mata yang berkaca-kaca dan mengisyaratkan mereka masih saling mencintai. Namun, keadaan sudah berbeda, Vina mulai beranjak meninggalkan pelaminan itu. Dengan langkah yang tak pasti, terhuyung-huyung, dan pikiran yang kacau, dia mencoba tegar untuk menerima kenyataan ini. Begitu menyakitkan rasanya, melihat orang yang dicintai bersanding di pelaminan dengan wanita lain. Dan yang lebih menyakitkan Vina yang merancang semua itu, semua tatanan konsep itu, banyak orang yang mengatakan konsep yang sempurna yang pernah ditemui selama ini. Tapi bagi Vina itu adalah hal yang menyakitkan pernah ia lakukan selama hidupnya.

Vina tak tahan lagi, dia menjatuhkan ari matanya. Dia segera meninggalkan pesta itu, tak tahu arah pasti dan belum mengenal Jakarta. Dalam hatinya menjerit, "Kenapa aku harus melihat semua ini, sudah aku coba untuk melupakan dia, tentang dia, kenangan bersama dia. Tapi kenapa hari ini aku harus melihatnya dengan sangat jelas!" Air matanya terus terurai, hanya bisa menangis yang ia lakukan.

"Jangan kau buang air matamu sia-sia hanya karena dia." Ucap orang yang di belakang Vina, dan membuatnya terkejut, dia tak menyadari ada orang di belakangnya.

"Kaauu...?" Ucapnya ragu.

"Iya, ini aku Ferdy, aku mengikutimu, aku tak ingin sesuatu yang buruk terjadi pada dirimu." Jawab Ferdy meyakinkan.

"Thanks." Lirih ucapan Vina.

Ferdy menuntun Vina, mengajaknya dia ke taman di belakang hotel, mungkin di sana suasana hati Vina bisa menjadi lebih tenang. Mereka berdua duduk di kursi yang sudah tersedia di taman itu, Vina terlihat pucat, dan rasanya tak ingin berbicara apa pun.

"Sudahlah, Vin, jangan bersedih. Yah... mungkin kau kehilangan Anton, tapi mungkin Tuhan mempunyai rencana lain untukkmu. Mungkin sesuatu yang lebih indah dari Anton akan menghampiri hidupmu, selama kau yakin dan sabar, pasti Tuhan selalu bersamamu." Ferdy mencoba menenangkan Vina.

"Yah... mungkin kau benar." Jawab Vina dengan lesu.

"Terkadang kita harus terluka terlebih dahulu untuk mendapatkan kebahagiaan yang sempurna. Mungkin kau tak bisa ditakdirkan dengan Anton. Bukan karena kau tak pantas untuknya, tapi mungkin kau terlalu indah bagi Anton. Kau tahu sendiri bagaimana dia? Ada pepatah mengatakan 'Orang baik hanya untuk orang baik', kau tahu itu, bukan?"

Vina tersenyum, dan berkata, "Pandai sekali kau berbicara? Sudah berapa banyak buku yang kau baca untuk menghiburku? Jangan-jangan kau sudah mempersiapkan kata-kata itu sejak aku sampai di Jakarta. Lalu bagaimana jika sesuatu yang indah tidak pernah ada untukku? Apa yang harus aku lakukan?"

"Jangan psimis gitu dong, Vin, anggaplah rasa sakit itu adalah proses pembelajaran awal untuk menuju tingkat kedewasaanmu. Anggap semua ini adalah ceritamu yang tak sempurna, meski kau sangat mencintainya, tapi kau harus rela kehilangannya. Kau harus rela melihat dia bersanding dengan wanita lain. Yakinlah, Tuhan bersamamu, kau pasti mendapatkan yang lebih baik dari dia. Sekali lagi Vin, jangan teteskan air matamu untuk dia. Tapi seharusnya kau bahagia karena hatimu kuat mampu menyajikan tatanan pesta yang indah, untuk orang yang sangat kau cintai..."

Mendengar kata demi kata dari Ferdy, air mata Vina bukannya berhenti, tetapi malah kian deras menetes.

"Kenapa kau tak pernah cerita dari awalnya, Fer? Kenapa aku harus bertemu dia lagi, sudah susah payah aku mencoba melupakan dia." Vina masih terisak menangis.

"Maafkan aku, Vin, aku juga tak menyangka kau yang membuat konsep itu. Tak pernah kuduga kau akan bekerja di hotel itu." Ucap Ferdy sambil menyapu air mata Vina dengan tisue. "Sudahlah Vin, tenangkan dirimu, kamu harus semangat untuk melalui hidup ini." Lanjut Ferdy.

"Aku tak tahu lagi apakah aku harus melanjutkan hidupku di Jakarta, atau kembali ke Makassar." Ungkapnya lirih.

"Lanjutkan disini saja, jangan takut untuk melangkah. Kamu lusuh Vin, sebaiknya kau pulang dan istirahat."

Vina menggelengkan kepala.

"Aku akan mengantarkanmu pulang."

"Tak usah, Fer, kamu sudah sering aku repotin." Vina menolaknya.

Tapi Ferdy tetap beranjak untuk memapah Vina menuju mobilnya, Vina tak kuasa untuk menolaknya. Kondisi badannya pun sangat lemah. Tak ada kata yang terucap di dalam mobil, pandangan Vina kosong, air matanya menetes lagi. Ferdy merasa iba kepadanya, dia mengemudi dengan cepat agar Vina cepat sampai di rumah untuk istirahat. Sampai di rumah, mereka berdua turun dari mobil, langkah Vina masih ditopang oleh Ferdy, dan membawa masuk ke ruang tamu, duduk pun masih dipapah oleh Ferdy. Tak pikir panjang saat Vina sedang duduk, Ferdy menuju ke dapur untuk mengambil air minum.

"Ini, Vin, diminum dulu, biar kamu tenang." Ferdy memberikan segelas air putih. Dengan tangan yang bergemetar Vina mencoba menerimanya, melihat itu Ferdy yang membantu Vina untuk minum. 

"Fer...." Ucapnya Vina lirih.

"Iyaa.. kamu perlu apa Vin? Biar aku ambilkan."

"Maaf, Fer, bukan maksud apa-apa tapi biarkan aku sendiri dulu, aku ingin sendiri, aku harap kamu bisa paham, maafkan aku, Fer..."

"Baiklah Vin, aku pulang dulu, jaga dirimu baik-baik, kalau ada apa-apa hubungi aku saja."

Vina hanya mengganggukan kepalanya, kemudian Ferdy pergi meninggalkannya. Ferdy juga merasa lelah, dia pulang ke rumahnya.

Vina masuk ke kamarnya, dengan langkah yang tak pasti, tapi tubuhnya perlu istirahat, dia pun tenggelam dalam tangisan malam. Berharap esok hari kan cerah untuk menyambut hari yang baru.

Post a Comment for "Cinta Yang Tak Sempurna #Part - 3"